Nasional

Catatan Diskusi: Menakar Tantangan Pelaksanaan SGDs di Indonesia

Kamis, 20 September 2018 | 16:45 WIB

Jakarta, NU Online

Gerakan Sustainable Development Goals (SDGs) sejatinya telah diadopsi selama tiga tahun di Indonesia. Tahun lalu, Presiden mengesahkan Perpres 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang tujuannya tak lain adalah tujuan SDGs.

Namun rupanya masih banyak tantangan tersisa dalam mencapai tujuan-tujuan SDGs ini. Dalam forum diskusi yang digelar International NGO International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) di Jakarta terdapat beberapa tantangan yang perlu diperbaiki:

Tantangan yang pertama adalah pentingnya meningkatkan partisipasi masyarakat sipil, DPR dan Media. Mengutip apa yang diungkapkan Anggota Tim Pelaksana SDGs, Zumrotin K Susilo, bahwa keterlibatan semua stakeholder terkait 'adalah salah satu tantangan nyata dalam melaksanakan SDGs'.

Urgensi peningkatan partisipasi masyarakat sipil tak lain karena kerja-kerja untuk mencapai tujuan SDGs membutuhkan sumber daya yang banyak sebab dalam prakteknya akanbanyak aspek kehidupan, misalnya kesetaraan gender, akses terhadap pendidikan, kesehatan, air, energi, anti-kelaparan dan seterusnya.

Untuk itu, pekerjaan maha besar ini mustahil berjalan jika hanya ditukangi oleh pemerintah dan NGO saja tanpa melibatkan Ormas, Media, Parlemen dan tentunya masyarakat sipil. “Kita LSM, Pemerintah, NGO dan teman-teman lain sudah sibuk sekali, tapi sepertinya peran DPR belum banyak. Partisipasi media juga perlu ditingkatkan lagi untuk mendukung gerakan SDGs ini,” ujar Zumrotin di Jakarta, Kamis (20/9).

Namun bukan berarti beberapa kelompok yang masih belum turun tangan dapat dianggap tak ingin ambil bagian. Sebab bisa jadi informasi mengenai SDGs ini masih bersifat echo-chamber di antara kelompok yang sejak awal terlibat.

Sejauh ini, kalangan yang banyak terlibat dalam program ini adalah kalangan NGO dan Pemerintah, seperti yang tercermin dalam perserta diskusi kali ini, di mana tak banyak anggota Ormas dan media arus utama. Dalam acara konferensi pers, hanya ada sekitar sepuluh wartawan yang ikut di dalam forum.

Selain media, organisasi kemasyarakatan juga belum tampak di dalam forum ini. Padahal, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan memiliki pengaruh hingga ke level komunitas terbawah dalam komposisi masyarakat di Indonesia.

Tantangan kedua adalah pentingtya menyatukan data yang akan digunakan sebagai bahan dasar intervensi program-program SDGs. Penyediaan data ini menjadi sangat penting untuk dikerjakan bersama-sama antara berbagai sektor baik pemerintah dan non-pemerintah.

Jangan sampai terjadi perbedaan data yang mengakibatkan kebijakan yang berbeda dan cenderung bertentangan. Zumrotin dalam hal ini mengatakan “Harus ada satu data yang benar-benar valid dan kuat untuk dijadikan pijakan bagi program SDGs. SDGs akan berjalan baik jika basis datanya kuat,” katanya.

Jika menimbang keseriusan Pemerintah Indonesia terhadap program tak sulit untuk misalnya dengan Perpres nomer 59 tahun 2017. Namun political will saja tak cukup. Peta jalan atau road map dari SDGs ini juga perlu segera dirampungi sehingga bisa bisa diaplikasikan dari pusat hingga ke daerah.

Saat ini, karena tidak adanya peta jalan yang terintegrasi dari pusat hingga daerah, penerapan SDGs di berbagai daerah sangat bergantung pada kemauan dari daerah yang bersangkutan. 

Praktek singkronisasi program SDGs di daerah yang bisa diacungi jempol yang dipaparkan dalam diskusi INFID saat ini adalah yang terjadi di Kabupaten Pangkep dan Kepulauan Sulawesi Selatan.

Dalam paparan Abdul Gaffar Bappeda Pangkep, kunci sukses penerapan SDGs kabupatennya adalah ‘membuka diri’ bagi masukan dari luar, termasuk masukan dari program SDGs. Dari sana, Pangkep menelurkan sejumlah kebijakan yang mengadopsi tujuan-tujuan dalam SDGs.“Kami bekerja sama dengan semua kalangan, lalu bentuk tim yang teridiri dari berbagai kelompok, dengan indicator keberhasilan ngambil dari SDGs,” katanya.

Terdapat sejumlah program yang dijalankan di Pangkep antaranya adalah melakukan kampanye literasi pada komunitas perempuan di Pangkep. Melalui program literasi ini komunitas perempuan di Pangkep menjadi bisa membaca dan mampu menyelesaikan tantangannya.

“Program literasi sangat penting terutama bagi kalangan perempuan. Perempuan di sana banyak yang tidak tidak bisa membaca dan punya masalah ekonomi. Kami buat program sekolah yang dilangsungkan di rumah panggung, bukan sekolah gedung. Mereka sekolah di sana dan bisa membaca. Setelah bisa membaca mereka punya kepercayaan diri sehingga berani bicara di depan umum, bahkan di depan Bupati dan Menteri juga berani bicara. Lalu mereka bisa mengakses program pemerintah, seperti alat tangkap ikan dan perahu. Bahkan sekarang mereka melek terhadap masalah-masalah keluarga”. (Ahmad Rozali)


Terkait