Jakarta, NU Online
Islam di berbagai belahan dunia sedang mengalami perubahan dan tantangan yang sangat serius seiring dengan menggejalanya revolusi digital. Cara beragama masyarakat kini mengalami perubahan luar biasa, yang tidak terprediksi sebelumnya.
“Di era digital banyak orang yang merasa menjadi ahli agama, padahal baru membaca sedikit informasi. Meski begitu mereka berani tampil membuat konten-konten digital yang mempengaruhi publik. Banyak masyarakat yang belum bisa memfilter informasi sehingga mudah terpengaruh” papar Ulil Abshar Abddalla dalam acara Pendidikan Instruktur Nasional Moderasi Beragama (PIN-MB) yang digelar Dirjen Pendis Kementerian Agama RI, Ahad (29/12) di Ciputat.
Kiai muda NU ini berkesempatan menyampaikan materi “Agama dan Beragama di Era Digital”. Gus Ulil memetakan dampak era digital terhadap cara beragama masyarakat, di antaranya yang paling terasa adalah runtuhnya otoritas keagamaan, pudarnya afiliasi terhadap lembaga kegamaan, menguatnya individualisme, pluralisme berubah menjadi tribalisme dan gejala “tinkering” yaitu gejala ngutak-ngatik agama tapi tanpa dibekali dengan kompetensi.
Karena itu, Gus Ulil mendorong agar dosen dan para cendikiawan terlebih yang memiliki latar belakang santri jangan ragu tampil membuat konten di media sosial. Mereka harus berkompetisi dalam membentuk ruang ketokohan, jangan ragu berani menonjolkan diri (asertif).
“Selama ini yang saya lihat santri masih terbelenggu dengan budaya tawadhu. Dalam konteks saat ini perlu ditinjau ulang,” katanya. Masyarakat harus diajak kembali untuk merujuk ulama-ulama yang kompeten sebagai sumber rujukan dalam beragama dan menghormati institusi kegamaan yang sudah teruji.
Namun demikian, Gus Ulil tetap mewanti-wanti agar dalam bergaul di dunia maya tetap mengedepankan etika dan akhlak.
“Jangan mengolok-olok pihak lain, termasuk tokoh-tokohnya. Meskipun berbeda pandangan harus tetap memberikan penghormatan. Misalnya jika oleh jemaahnya dipanggil dengan habib, kita harus memanggilnya dengan panggilan tersebut. Itu bagian dari etika” tukasnya.
Editor: Zunus Muhammad