Nasional RISET BLA JAKARTA

Penyebab Efektivitas Respons Dini Konflik Keagamaan

Kamis, 19 Desember 2019 | 12:15 WIB

Respons dini konflik keagamaan adalah salah satu cara untuk meredam sekaligus mencegah konflik keagamaan yang terjadi. Konflik keagamaan juga menempati posisi pertama dalam konflik yang terjadi di Indonesia selain konflik suku dan ras.
 
Sebagaimana contoh konflik keagamaan yang terjadi pada tahun 2017 di mana terjadi kasus yang dinilai sebagai penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaya Purnawa alias Ahok. Oleh sebagian masyarakat Ahok dianggap menistakan ajaran agama Islam dengan menafsirkan ayat 51 Surat Al-Maidah untuk alat kampanye. Konflik keagamaan tersebut akhirnya berubah menjadi demo berjilid-jilid yang dimotori oleh mujahid 212 pimpinan Rizieq Syihab.
 
Untuk menanggulangi konflik keagamaan yang berubah pada aksi nyata tindak kekerasan, atau untuk mencegah munculnya konflik keagamaan yang menjadi eskalasi atau tindak kekerasan, dibutuhkan respons dini untuk mencegah konflik keagamaan tersebut. Dalam konteks penanganan konflik, respons dini (early response) umumnya dipahami sebagai setiap upaya yang dilakukan pada tahap potensi terjadinya konflik bersenjata (kekerasan) yang bertujuan untuk mengurangi, menyelesaikan atau mentransformasikan konflik.
 
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Alam dan kawan-kawan yang tergabung dalam peneliti pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta (BLAJ) Badan Litbang dan Diklat Kementreian Agama RI pada tahun 2019 dengan judul penelitian Sistem Peringatan dan Respons Dini Konflik Keagamaan Fase II: Variasi Efektifitas Respon Dini Konflik Keagamaan menyatakan bahwa respons dini ini cukup efektif mencegah konflik keagamaan. Efektivitas respons dini konflik keagamaan ini mencapai 51, 85 persen. Dari 27 kasus respon dini konflik keagamaan yang diteliti, 14 termasuk kasus respons dini berhasil dan 13 kasus respons dini gagal.
 
Beberapa kasus respons dini yang gagal mencegah konflik keagamaan untuk berubah menjadi eskalasi atau tindak kekerasan adalah konflik terkait penggunaan rumah toko (ruko) sebagai rumah ibadah oleh komunitas HKBP Rogate di Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tanggerang.
 
Sebanyak 13 dari 27 kasus respons dini konflik keagamaan yang kurang berhasil ini menunjukan bahwa efektivitas respons dini pencegahan konflik keagamaan harus ditingkatkan. Dalam laporannya, para peneliti menyatakan setidaknya ada enam faktor yang memengaruhi efektivitas respons dini konflik keagamaan ini.

Pertama, jenis isu konflik keagamaan dan tingkat ancaman konflik terhadap keamanan negara. Dalam kasus konflik terkait terorisme, yang memiliki tingkat ancaman tertinggi di antara berbagai jenis konflik keagamaan lainnya, kemampuan warga maupun aparat pemerintah setempat dalam melakukan deteksi dini terhadap kelompok-kelompok terafiliasi jaringan terorisme sangat rendah. 

Kedua, sikap proaktif, ketegasan dan konsistensi tindakan dari aparat pemerintah setempat, mulai dari tingkat desa atau kelurahan hingga tingkat provinsi. Meski secara umum aparatur di tingkat lokal mengetahui regulasi yang mengatur pendirian rumah ibadat atau pemanfaatan bangunan bukan rumah ibadat untuk tempat ibadat sementara, sikap yang cenderung abai dari sebagian aparatur pemerintah di tingkat lokal telah berkontribusi pada kegagalan respons dini mencegah konflik mengalami eskalasi atau berubah menjadi kekerasan. Ketidaktegasan dan inkonsistensi tindakan aparat pemerintah setempat juga berkontribusi pada kegagalan respons dini dalam banyak kasus konfilk komunal terkait pendirian rumah ibadat.

Ketiga, kesamaan persepsi di kalangan aparatur pemerintah dalam memahami regulasi yang menjadi landasan bertindak dalam penanganan konflik. Hal ini terutama tampak dalam kasus konflik terkait isu sektarianisme.  Keempat, karakteristik dari masing-masing pihak yang berkonflik dan relasi di antara para pihak yang berkonflik itu sendiri. Dalam sebagian kasus, sikap yang sulit untuk berkompromi dari para pihak yang berkonflik menghalangi keberhasilan respons dini maupun penyelesaian kasus secara keseluruhan. Akibatnya, dalam sebagian kasus, kendati tindakan respons yang dilakukan berhasil mencegah konflik bereskalasi atau melahirkan kekerasan, namun penyelesaian tuntas terhadap konflik belum juga dapat tercapai.
 
Kelima, peran pihak ketiga di luar dari para pihak yang berkonflik, dalam sebagian kasus, turut mempersulit tindakan respons yang dilakukan aparat pemerintah setempat. Ketegasan aparat pemerintah setempat dalam mencegah intervensi atau masuknya pengaruh pihak ketiga menjadi salah satu penyumbang keberhasilan penyelesaian konflik, seperti ditunjukkan oleh sejumlah kasus yang dikaji.
 
Keenam, kemajuan pesat di bidang teknologi informasi, kehadiran media sosial juga menjadi tantangan bagi upaya respons dini maupun penanganan konflik secara keseluruhan. Beredarnya secara cepat berbagai informasi palsu atau informasi yang tidak dapat divalidasi kebenarannya melalui media sosial telah berkontribusi pada cepatnya proses mobilisasi massa dalam berbagai kasus konflik, yang mengakibatkan eskalasi konflik menjadi sulit diantisipasi secara cepat oleh aparat pemerintah setempat.
 
 
Penulis: Ahmad Khalwani
Editor: Kendi Setiawan