Di Era Digital, Semangat Kosmopolitan Ulama Nusantara Perlu Dipupuk
Rabu, 14 Oktober 2020 | 15:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pengasuh Ngaji Ihya’ Online Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) mengatakan, di era digital yang semakin maju kesempatan para kiai muda Indonesia berjejaring dengan ulama internasional terbuka luas. Melalui zoom meeting, misalnya, hubungan dengan ulama mancanegara bisa tersambung cepat.
Hal tersebut disampaikannya saat didaulat menjadi narasumber Muktamar Pemikiran Santri Nusantara bertema ‘Strategi Pengembangan Pesantren Pasca Lahirnya UU Pesantren Nomor 18 tahun 2019’ yang diinisiasi oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendis Kemenag, Selasa (13/10).
Gus Ulil berpendapat, masih jarang sekali ulama Indonesia yang terjun secara langsung berdialog mengenai isu keislaman di ruang-ruang publik internasional. Oleh karena itu, semangat kosmopolitan ulama nusantara perlu dipupuk.
“Indonesia yang merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim terbanyak di dunia ini seharusnya oleh para kiai dibangun dialog-dialog dengan para tokoh Islam internasional agar kekayaan keilmuan serta tradisi keislaman ala Aswaja an-Nahdliyyah di Indonesia bisa terekspos secara luas,”ungkapnya.
Sekitar tahun 1940 hingga 1950-an, lanjut Gus Ulil, para kiai di Indonesia begitu produktif membuat karya-karya kitab kuning. Kualitas karya ulama Nusantara tidak jauh berbeda dengan karangan ulama Timur Tengah.
Sebab, jaringan persahabatan antara para kiai dengan ulama internasional terjalin sangat erat. Setelah Arab Saudi dikuasai Wahabi, kedudukan haramain sebagai pusat transmisi pengetahuan ulama Nusantara mulai terputus.
Ia berharap agar ada pihak-pihak yang memikirkan hal ini, baik Kemenag maupun Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) untuk menggagas seminar-seminar internasional guna menghubungkan para intelektual Islam di seluruh dunia.
“Meskipun pada awalnya para kiai harus beradaptasi dengan bahasa dan kebiasaan baru. Tapi ke depannya Insyaallah akan muncul generasi Syekh Mahfudh Tremas, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dengan semangat kosmopolitan,” tandasnya.
Akselerasi Pesantren
Pengasuh Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, Reza Ahmad Zahid (Gus Reza), menyampaikan bahwa pesantren sebagai salah satu lembaga independen yang tetap eksis hingga saat ini tentunya harus terus beradaptasi dengan perkembangan zaman.
“Pasalnya, jika tidak demikian maka pesantren itu sendiri yang akan ditinggalkan oleh zaman. Apapun perkembangan yang terjadi di pesantren seperti penambahan materi pembelajaran itu tidak akan merubah prinsip di dalam kurikulum pesantren,” terangnya.
Gus Reza berpendapat, pesantren dengan karakteristiknya semacam pengajian wetonan dan sorogan, akan tetap berjalan karena hal ini merupakan warisan para leluhur.
Pada kesempatan yang sama, Pengasuh Pesantren Mahasina Bekasi, Nyai Hj Badriyah Fayumi, menanggapi pemaparan Gus Reza memberikan tiga pernyataan tantangan pengembangan ilmu pesantren saat ini.
“Pertama, pesantren harus mampu mengintegrasikan keilmuan, antara ilmu agama dengan ilmu agama, kemudian ilmu agama dengan ilmu umum, serta nash dengan realitas,” tegasnya.
Tokoh perempuan kelahiran Pati ini berpendapat, pesantren dengan pelbagai keilmuan yang diberikan kepada para santri harus mampu mensinergikan setiap keilmuan, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memahami suatu permasalahan.
Kedua, lanjut dia, pengembangan keilmuan yang menyeimbangkan materi dengan metode. Ketiga, penguatan ilmu dengan pengayaan wawasan dan perspektif dalam suatu diskursus masalah.
Nyai Badriyah berharap, Kemenag sebagai pemangku kepentingan yang menjembatani aspirasi pesantren bisa bersinergi membantu dan memfasilitasi setiap inovasi yang dilakukan pesantren.
Pantauan NU Online, acara tersebut dihadiri lebih kurang 214 partisipan di akun Zoom Meeting Cak Masykur dari pelbagai lembaga serta direlay akun YouTube Pendis Channel dan akun Facebook P3M.
Kontributor: A Rachmi Fauziah
Editor: Musthofa Asrori