Serunya Membincang Gus Dur pada Bedah Buku ‘Sang Kosmopolitan’
Sabtu, 1 Februari 2020 | 11:00 WIB
Yogyakarta, NU Online
Sebagai orang yang dawam silaturahim, suatu kali KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkunjung ke Yogyakarta. Seorang mahasiswa yang dihubungi sang kiai kelabakan karena tak ada dana untuk menjamu Gus Dur yang saat itu telah menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Entah muncul dari mana, si pemuda menemukan ide agak nakal. Ia bersama kawan-kawannya sesama mahasiswa Yogyakarta berniat mengajukan proposal ke setiap hotel agar dapat menerima Gus Dur menginap secara gratis.
Ia memang mendatangi banyak hotel, tapi tak cukup menghilangkan kepanikannya, karena semua yang didatangi kompak menolak. Tak banyak orang tahu siapa Ketua Umum PBNU saat itu.
Sampailah si pemuda ke suatu hotel yang membikin ia terkesiap. Manajer hotel itu ternyata tahu betul, sehingga mempersilakan Gus Dur menginap gratis. Tenanglah hati si pemuda. Hotel telah didapat, tinggal ia infokan kepada Gus Dur.
Betapa ia lebih terkaget-kaget saat memberikan informasi tersebut, Gus Dur justru menjawab, “Lho, aku ke Yogja bukan untuk tidur, kok.”
Akhirnya Gus Dur tidak tidur semalaman dan hanya mengobrol di rumah salah seorang kawan. Memang itulah yang diinginkan Gus Dur, bersilaturahim ke suatu kota, dan berbincang-bincang dengan siapapun.
Pemuda itu adalah Hairus Salim HS, penulis buku Sang Kosmopolit yang terbit awal tahun ini. Ia menceritakan kisah di atas saat menjadi narasumber dalam agenda bedah bukunya itu di Kafe Basabasi, Yogyakarta, Jumat (31/1) malam.
Di balik semesta gagasannya yang benar-benar luas, sosok Gus Dur memang sederhana. Kesederhanaan itulah yang membuat Gus Dur tak perlu kamar hotel untuk berkunjung.
Savic Ali, CEO Islami.co, berkelakar tentang sosok Gus Dur.
“Orang Indonesia yang paling banyak menginap di rumah orang.” Hal itu ia katakan saat menjadi narasumber di agenda yang sama.
Buku Sang Kosmopolit adalah kumpulan 16 esai Hairus Salim yang menceritakan tentang Gus Dur dari perspektif orang dekat.
Sejak muda, Hairus memang begitu dekat dengan Gus Dur. Hal itulah yang menjadi modalnya untuk menceritakan banyak kisah tentang mantan Presiden ke-4 RI itu.
Dalam bukunya, Hairus bahkan tak malu mengatakan bahwa ia penggemar berat Gus Dur.
“Oleh sebab itu,” tulisnya, “isi dan nadanya kebanyakan lebih bersifat pujian atau setidaknya tanpa pretensi kritik. [...] Meski demikian, saya tetap berusaha bersikap proporsional agar tak menjadi isapan jempol,” demikian Hairus (Sang Kosmopolit, 2020: hlm. ix).
Sosok Gus Dur memang tidak ada habisnya untuk dibicarakan. Sebagaimana Hairus katakan dalam diskusi tersebut bahwa Gus Dur adalah seorang man of letters.
“Maksudnya,” kata Hairus, “man of letters itu adalah seseorang yg memproduksi pengetahuan dan menggunakan pengetahuan itu untuk menggerakkan masyarakat. Tipe orang yang seperti itul generalis, tahu banyak hal,” katanya.
Sebagai salah seorang yang begitu dekat dengan Gus Dur, Hairus memang berhasil membingkai Gus Dur dalam bukunya itu. Savic Ali mengatakan bahwa Hairus adalah orang yang paling jitu menangkap sosok Gus Dur.
“Bukan hanya gagasannya, Mas Salim (Hairus-red) berhasil menangkap tindakan-tindakannya juga,” kata Savic.
Tak berlebihan jika Savic mengatakan bahwa Sang Kosmopolit adalah buku terbaik untuk mengenal Gus Dur secara lebih cepat ketimbang karya Greg Barton.
Puluhan orang menghadiri agenda diskusi dan Gus Dur menjadi topik perbincangan utama dalam forum tersebut. Tak henti-hentinya hadirin tertawa karena para narasumber kerap mengingat-ingat kembali kelakar mengenai Gus Dur yang memancing gelak tawa.
Di akhir diskusi yang menghabiskan hampir empat jam itu, perbincangan tampak mengarah kepada sosok Gus Dur dan sepakbola. Maklum, Hairus tak menceritakan soal itu dalam bukunya.
“Karena memang tentang Gus Dur dan bola itu sudah banyak dibahas,” kata Hairus membela diri.
Sebagai seorang kosmopolit, tidak ayal jika setiap generasi tak henti-hentinya membincangkan Gus Dur. Gus Dur mampu mengenalkan gagasannya kepada dunia karena ia menuliskannya di tiap esai.
“Setelah Soekarno, Gus Dur adalah satu-satunya presiden yang menulis esai,” kata Hairus.
Menutup diskusi, Fairus, moderator diskusi mengutip sebuah diktum dalam Sang Kosmopolit soal kepenulisan.
“Mungkin sulit bagi kita untuk menjadi presiden, tetapi setidaknya kita dapat belajar dan berusaha untuk menjadi penulis seperti Gus Dur,” katanya.
Riuh tepuk tangan penonton kemudian mengiringi akhir dari diskusi tersebut.
Kontributor: Fahri Hilmi
Editor: Ibnu Nawawi
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua