Fenomena Ustadz Prematur, NU DKI Jakarta: Tidak Pantas Diikuti
Rabu, 8 Juli 2020 | 13:33 WIB
Wakil Rais Syuriyah NU Jakarta KH Taufik Damas menegaskan bahwa ustadz prematur tidak pantas diikuti
Jakarta, NU Online
Akhir-akhir ini muncul fenomena dai yang belum memiliki kematangan secara keilmuannya, tetapi sudah berani menyampaikan pemikiran keagamaan. Hal ini tampak dari beberapa video yang sempat viral beberapa waktu lalu yang menampilkan orang yang dianggap sebagai pendakwah itu salah dalam melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Akan tetapi, mereka menyerukan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis.
Wakil Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama KH Taufik Damas menyampaikan bahwa orang yang tidak bisa bahasa Arab, tidak mengerti tafsir, belum memahami asbabun nuzul, tidak mengetahui klasifikasi ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi, hingga tidak pernah membaca sejarah, tiba-tiba menyimpulkan keputusan hukum dengan merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah itu pasti sesat.
“Yang begitu kalaupun dia benar kebetulan aja itu benar. Dan orang-orang yang benarnya kebetulan itu tidak pantas untuk diikuti karena tidak memiliki tanggung jawab ilmiah,” katanya dalam galawicara yang digelar oleh 164 Channel pada Rabu (8/7).
Orang yang memiliki pemahaman yang sifatnya subjektif personal ketika menyampaikan pemikiran keagamaan yang tidak didasari oleh metodologi pemikiran keagamaan yang benar itu dalam Hadits Nabi disebut sesat dan menyesatkan.
Apalagi, katanya, mengaku berguru langsung kepada Rasulullah dan para sahabat. Hal demikian ini tentu saja tidak masuk akal. Sebab, orang dapat melaksanakan shalat itu karena mengikuti para ulama, tidak melihat langsung dari Rasulullah. Keyakinan shalat yang dilakukan sama dengan shalatnya Rasulullah itu karena adanya transmisi pengetahuan, yakni saat Nabi shalat dilihat oleh sahabat. Begitu sahabat shalat ditiru oleh tabiin. Lalu, tabiin shalat diikuti oleh tabiit tabiin, ulama, terus hingga sampai umat Islam saat ini.
Menurutnya, para ulama merumuskannya menjadi tata cara shalat dengan adanya syarat dan rukun. “Bayangkan kalau tidak ada ulama yang merumuskan syarat dan rukun shalat dalam kitab fiqih mereka, kita mungkin tidak bisa mencontoh shalat Nabi karena kita tidak pernah melihat Nabi, kita tidak hidup bersama Nabi,” katanya.
Berkat jasa para ulama yang merumuskan tata cara shalat Nabi menjadi syarat dan rukunnya, akhirnya umat Islam saat ini bisa menunaikan shalat dengan belajar dari guru-guru yang telah mempelajarinya dari kitab-kitab yang sudah disediakan oleh para ulama. “Itu baru satu hal dalam aspek ibadah,” ujarnya.
Apalagi, imbuhnya, dalam aspek hukum dan kehidupan sosial bermasyarakat yang tentu tidak bisa sembarangan. Memang tidak ada larangan orang mengutip ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi jika menyangkut pesan-pesan moral, seperti orang harus jujur, adil, penyayang, ramah, menghargai tetangga, menghormati tamu dan lain sebagainya. Soal itu, menurutnya, tidak masalah mengingat aspeknya yang universal.
Namun, Kiai Taufik menegaskan bahwa jika menyangkut aspek hukum tidak bisa sembarangan memahaminya langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi karena membutuhkan instrumen disiplin ilmu yang komprehensif mengenai bahasa Arab yang meliputi balaghah, ma’ani, badi’ bayan, tafsir dan ilmu tafsirnya, hadis dan ilmu haditsnya, asbabun nuzul, dan sebagainya.
Oleh karena itu, ia mengajak kepada seluruh masyarakat untuk menghargai pengetahuan keagamaan karena memang cukup rumit mengingat instrumen atau disiplin keilmuan yang dibutuhkan dalam memahami satu persoalan itu sangatlah banyak. Mengutip Imam al-Dahlawi dalam kitabnya yang berjudul Aqdul Jayyid fi Ahkamil Ijtihad wat Taqlid, Kiai Taufik mengatakan bahwa orang awam dilarang berijtihad sendiri.
“Orang awam gak boleh berijtihad karena ijtihad itu hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni,” kata kiai alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Abdullah Alawi