Nasional

Jelang Usia Satu Abad, NU Perlu Lakukan Penguatan Demokrasi di Indonesia 

Rabu, 10 November 2021 | 14:00 WIB

Jelang Usia Satu Abad, NU Perlu Lakukan Penguatan Demokrasi di Indonesia 

NU Perlu Lakukan Penguatan Demokrasi di Indonesia 

Jakarta, NU Online
Usia Nahdlatul Ulama (NU) tengah menjelang satu abad atau 100 tahun, sejak didirikan pada 1926. NU sebagai salah satu pihak yang mendirikan negara ini, tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab keindonesiaan. Tanggung jawab itu, salah satunya adalah soal penguatan demokrasi di Indonesia.

 

Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rumadi Ahmad menjelaskan, saat ini terdapat banyak narasi yang mengemuka bahwa demokrasi di Indonesia sedang berada di titik terendah sejak masa Orde Baru berakhir.

 

Kini, demokrasi di Indonesia sedang mengalami kemunduran. Meski telah berlangsung selama kurang lebih 20 tahun, tetapi konsolidasi demokrasi tidak terjadi. Justru yang terjadi adalah deepening liberalism (memperdalam liberalisme).

 

Hal itu, dijelaskan Rumadi, sebagaimana dikemukakan Thomas Power dan Eve Warburton dalam buku ‘Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression’ (2020). Di buku itu, digambarkan bahwa Demokrasi di Indonesia sedang mengalami proses dari stagnasi atau tidak bergerak menuju regresi atau mundur ke belakang.

 

“Kalau dikatakan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami regresi, maka NU sebagai salah satu kekuatan demokrasi mau tidak mau harus bertanggung jawab di dalam regresi demokrasi itu. Narasi ini cukup kuat,” kata Rumadi dalam Halaqah yang digelar P3M bertajuk ‘Masa Depan Warga NU Menyongsong Muktamar 2021’, pada Rabu (10/11/2021).

 

Menurut Thomas Power, stagnasi demokrasi sudah dimulai sejak 2000-an. Sementara demokrasi mengalami masa regresi itu mulai terjadi pada periode masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009-2014.

 

Meski begitu, demokrasi di Indonesia masih dinilai lebih sehat dan stabil jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Filipina dan Thailand yang mengalami kemunduran demokrasi yang cukup dramatis.

 

Indonesia berkategori rendah dalam probabilitas transisi ke rezim otokrasi. Meskipun demokrasi di Indonesia itu mundur, tetapi kemungkinan Indonesia terjatuh pada rezim otokrasi lebih kecil dibanding negara-negara seperti Filipina, Malaysia, dan India.


 
“Ini salah satu buku yang boleh dikatakan sebagai buku paling mutakhir. Biasanya digunakan orang untuk melihat perkembangan demokrasi di Indonesia, dan NU menjadi bagian dari itu. Bahkan kalau kita mengklaim bahwa NU adalah pemilik sah negara Indonesia, maka kita juga punya tanggung jawab untuk menghadapi situasi ini,” terang Rumadi.

 

Berdasarkan penilaian dari Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia terendah dalam 14 tahun terakhir. Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dari 167 negara dan mendapat indeks demokrasi dengan skor 6,3. Peringkat teratas diduduki Norwegia dengan skor 9,81 disusul oleh Islandia (9,37) dan Swedia (9,26).

 

Di Indonesia, EIU memberikan skor 7,92 untuk proses pemilihan umum (pemilu) dan pluralisme, sedangkan fungsi dan kinerja pemerintah dengan skor 7,50. Kemudian partisipasi politik mendapat skor 6,11, budaya politik 4,38, dan kebebasan sipil dengan skor 5,59. Indeks ini disusun EIU sejak 2006 dengan tujuan untuk mengukur keadaan demokrasi di 167 negara di dunia.

 

“Kalau NU mau berkontribusi untuk meningkatkan penguatan demokrasi itu kira-kira ada di mana? Bagian paling rendah adalah kebebasan sipil dan budaya politik. Kebebasan sipil misalnya muncul tindakan-tindakan intoleransi di berbagai macam tempat yang melibatkan banyak tokoh keagamaan di sebuah wilayah itu seringkali dijadikan sebagai argumentasi,” terang Rumadi.

 

Para Indonesianis, kata Rumadi, menganggap bahwa keterlibatan tokoh-tokoh keagamaan termasuk NU dalam tindakan intoleransi menjadi ancaman terhadap kebebasan sipil. Begitu pula budaya politik yang masih mengkhawatirkan.

 

“Misalnya dalam Pilkada DKI itu selalu dijadikan sebagai salah satu contoh bahwa kita masih dalam masa yang sangat krusial. Pada masa Pilpres 2019 juga sama yang kurang lebih terjadi,” pungkasnya.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Aiz Luthfi