JPPI: Sekolah Rakyat Harus Jawab Kebutuhan Anak Putus Sekolah
Kamis, 11 September 2025 | 17:30 WIB
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (11/9/2025). (Foto: NU Online/Fathur)
Jakarta, NU Online
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengkritisi konsep Sekolah Rakyat yang saat ini tengah berjalan yang digagas pemerintah.
Menurutnya, program tersebut berisiko salah arah jika hanya dipandang sebagai proyek pembangunan fisik, bukan sebagai upaya pemenuhan hak dasar pendidikan rakyat.
"Sekolah rakyat itu bukan bangunan baru di tengah kota. Yang penting adalah menjawab kebutuhan anak-anak yang tidak sekolah. Mulainya dari jumlah anak putus sekolah dulu, baru dipikirkan sekolahnya di mana," kata Ubaid kepada NU Online saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
Ubaid menyoroti sistem penerimaan siswa baru yang masih dipisahkan antara sekolah reguler dan sekolah rakyat.
"Mestinya sistemnya satu pintu. Jangan dipisah. Kalau sekarang anak mau daftar sekolah negeri lain alur, mau daftar sekolah rakyat lain alur. Ini diskriminatif," ujarnya.
Ia menegaskan, anak-anak miskin di kelompok desil 1 dan 2 seharusnya dijamin pemerintah bisa masuk sekolah negeri tanpa hambatan.
"Kalau mau model berasrama atau seperti pesantren, boleh. Tapi semuanya dibiayai negara, baik di sekolah negeri, madrasah, atau sekolah rakyat," jelasnya.
Ubaid juga menemukan persoalan serius pada kualitas tenaga pengajar dan wali asuh di sekolah rakyat. Ubaid mengungkapkan, banyak wali asuh yang tidak memiliki kompetensi memadai dalam mendampingi anak.
"Saya lihat ada kasus anak SMA di asrama merokok, solusinya malah dibotaki. Itu bukan pendidikan, tapi pemaksaan. Wali asuhnya tidak paham parenting," tegasnya.
Menurut Ubaid, pola semacam ini menunjukkan sekolah rakyat belum memiliki standar mutu yang jelas, baik dari aspek kurikulum maupun pendidiknya.
Ubaid menyamakan pola pengelolaan sekolah rakyat dengan program bantuan sosial (bansos).
"Kalau ada guru mundur, jawaban pemerintah: tidak apa-apa, kan yang antre banyak. Itu logika bansos, bukan pendidikan. Padahal pendidikan itu hak, bukan barang yang bisa diganti-ganti sesuka hati," tegasnya.
Sebagai solusi, Ubaid mendorong agar pemerintah tidak memaksakan sekolah rakyat baru dengan konsep yang seragam, tetapi mengintegrasikan dukungan pada sekolah yang sudah mapan.
"Kalau mau entrepreneur, masukkan ke sekolah yang sudah punya kurikulum kewirausahaan. Kalau mau jadi tokoh agama, kirim ke pesantren yang lulusannya sudah terbukti bisa lanjut ke Timur Tengah. Jangan bikin sekolah baru tanpa rekam jejak," katanya.
Ubaid menekankan, kehadiran negara harus ditunjukkan dengan menanggung biaya pendidikan anak-anak miskin di lembaga yang sudah terbukti berkualitas.
"Tinggal pemerintah hadir, semua dibiayai negara. Itu jauh lebih efektif untuk memutus mata rantai kemiskinan," pungkasnya.