Nasional

Kenapa “Interfaith Dialogue” Kurang Berpangaruh?

Jumat, 29 April 2016 | 08:30 WIB

Jakarta, NU Online
Interfaith dialoque atau dialog antaragama kini sangat sering dilakukan di mana-mana, dari level lokal sampai dengan level internasional. Tetapi persoalannya, dengan intensitas yang begitu tinggi, kenapa kurang berpengaruh terhadap perdamaian dunia?
 
Wakil Ketua Umum PBNU H Maksum Machfoedz menjelaskan, selama ini dialog antaragama dilakukan untuk menjelaskan karakter masing-masing agama, termasuk upaya untuk menghilangkan islamophobia. Sekalipun dialog antaragama sudah dilakukan di mana-mana islamophobia tidak pernah sembuh. 

“Ini karena kita (umat Islam) sering membuat satu kecelakaan-kecelakaan dengan adanya tindak radikalisme yang sebetulnya tidak perlu,” tuturnya. 

Ia berkesimpulan, sebelum melangkah dalam melakukan dialog antaragama, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah dialog antar pemeluk Islam. 

“Kami menyadari bahwa ada persoalan yang harus diselesaikan sebelum interfaith dialogue. Kami membahasakannya intrafaith atau dialog antara sesama pemeluk Islam,” katanya.
 
Dari latar belakang itulah, PBNU akan menggelar International Summit of Moderat Islamic Leaders (Isomil) yang akan diselenggarakan di Jakarta pada 9-11 Mei 2016.
 
Maksum Machfoedz yang juga guru besar UGM ini juga menyatakan, dalam pembukaan UUD 1945, disebutkan bahwa bangsa Indonesia akan turut serta mencapai perdamaian dunia. “Nah, Kalau persoalan intrafaith tidak selesai, ikut menyelesaikana persoalan dunia dari mana kalau negara yang mayoritas Islam itu tidak bisa menyelesaikan persoalan dalam umat Islam,” katanya disela-sela kesibukannya mempersiapkan penyelenggaraan konferensi internasional ini.

Dalam forum tersebut, akan diperkenalkan tentang Islam ahlusunnah wal jamaah an Nahdliyah atau sekarang ini akrab disebut dengan nama Islam Nusantara.
 
“Islam ala NU bisa menjadi perekat pergaulan umat untuk membangun peradaban dunia. Untuk menjadi inspirasi terciptanya tata pergaulan dunia baru,” tegasnya. 

Maksum menjelaskan, sebelumnya pemerintah sudah menyelenggarakan konferensi internasional yang digelar atas nama Organisasi Konferensi Islam (OKI). Bedanya, konferensi oleh OKI sifatnya government to government (G to G) sedangkan Isomil sifatnya people to people (P to P). 

“Ini pertemuan antara ulama moderat atau yang agak moderat. Ini pertemuan antar kia,” paparnya. 

Ia menjelaskan, sebelumnya, PBNU sudah pernah menyelenggarakan konferensi yang hampir sama. Dalam kesempatan tersebut diundang para ulama dari Afganistan yang dalam banyak hal memiliki kesamaan, tetapi bermusuhan. Mereka dipertemukan dalam serangkaian acara sebagai upaya agar lebih saling mengenal satu sama lain.  

“Terakhir, saya menemani rombongan Afganistan di UGM. Mereka belajar Pancasila. Pulang, mereka punya NU di Afganistan. Mereka mengakui Pancasila, toleransi, pentingnya nasionalisme dan sebagainya,” katanya. 

Dengan pengalaman seperti itu, kalau orang Afganistan saja bisa, yang lain insyaallah juga bisa. “Antar masyarakat Islam ini harus membangun upaya berfikir bersama, memahami bersama, maka bisa tasamuh, sudah bisa toleran.” 

Meskipun acaranya bersifat people to people, tapi yang membuka adalah Presiden RI sedangkan yang menutup acara oleh Wakil Presiden RI. (Mukafi Niam)


Terkait