Jakarta, NU Online
Menjadi warga NU atau Nahdliyin harus belajar kenuan. Di NU ada ada nilai ibadah, NU punya sejarah dan organisasi, NU memperjuangkan nilai-nilai yang diyakini. Semua itu harus dipelajari.
<>
Demikian dikemukakan tokoh NU KH Nuril Huda saat berkunjung ke kantor NU Online siang tadi (10/10). "Kalau memperlakukan NU sebagi warisan saja, maka sama saja kita memperlakukan NU seperti batu. Antum ngerti batu?" tegas Kiai Nuril yang tercatat sebagi salah seorang pendiri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Kiai Nuril mengaku bahwa akhir-akhir ini resah dengan isu-isu kenuan yang didorong oleh orang-orang di luar NU.
"Tidak semua salah orang luar mengatakan NU itu begini begitu. Tapi mereka punya maksud tertentu mengatakan begini begitu. Minimal agar kita bereaksi," ujarnya. "Saya ini sudah aktif di NU sejak tahun 55, pahamlah saya dengan pancing-memancing. Makanya anak-anak NU, harus belajar NU. Jangan berhenti tahu bahwa orang tuanya NU, jangan hanya tahu bendera NU, tanpa mempelajari isinya," lanjutnya, tanpa menjelaskan.
Ketika ditanya tentang isu Partai Komunis Indonesia, dia menjawab bahwa PKI sudah mati secara institusi, tapi ideologinya terus hidup. "Ndak ada ideologi itu mati. Kita harus tetap waspada," tegasnya.
Lantas dengan lancar mantan ketua Lembaga Dakwah NU itu bercerita bahwa keluarganya dibunuh saat pemberontakan Madiun tahun 1948. Kakek mertuanya yang bernama Kiai Haji Sulaiman Zuhdi bersama 16 kiai meninggal dirajam PKI di sebuah sumur. "Kakek saya itu sakti, bersama teman-temannya pergi dari Magetan ke Madiun untuk melawan PKI. Tapi kalah. Tapi dipentungin tidak mati-mati, akhirnya dimasukin sumur bersama kawan-kawannya, dikubur hidup-hidup. Begitu nasib kakek saya oleh PKI."
Dia menyampaikan bahwa orang-orang PKI itu benci para kiai karena para kiai membawa ajaran Islam yang benar dan kiai-kiai itu mendukung pemerintah. "Mereka tahu itu, orang NU setia pada pemerintahan yang sah. Dan para kiai akan membela negara sampai mati. Itu masalahnya kewajiban. PKI sewot itu."
"Ketika peristiwa 65 saya masih kuliah di Solo, tapi sudah aktif di NU, ke sana ke mari, bahkan ceramah sampai Magelang, ceramah di depan anak-anak muda. Nah, mereka kasih tahu saya harus hati-hati, karena ada di daftar. Itu kata teman-teman di Magelang," lanjutnya.
Kiai Nuril juga mengaku bahwa dirinya pun merasa diancam oleh orang-orang PKI saat ada di kampung halamannya Desa Sidorejo Kecamatan Sugiyo Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Dia mengenang, "Saat pulang ke Lamongan itu, tahun 1965, saya ndak berani tidur di rumah saya. Karena tetangga desa itu PKI semua, BTI, guru-gurunya yang pegawai negeri juga PKI. Nama desanya Medali. Saya merasa terancam, sehingga tidur masjid di Desa Slempit Kecamatan Sugiyo. Itu tokoh PKI kenal sama saya, tapi gregeten sama saya, karena saya NU gledegan. Tapi saya kan masih dianggap kecil, jadi sebetulnya dibiarin saja saya."
"Orang-orang PKI itu mengintimidasi di desa saya, tanya ini tanya itu. Bapak saya ndak begitu paham, wong orang kampung. Tapi ibu saya punya feeling. Itu orang cari Nuril," lanjutnya.
Meski jengkel dan sakitnya tidak hilang,sekarang Kiai Nuril mengaku tidak masalah dan tidak dendam dengan orang-orang PKI. "Saya pernah ketemu di kampung dengan orang-orang itu. Saya guyonan saja sama mereka,hay piye Pemuda Rakyat, piye..Tobat-tobat..hehe.. guyon sajalah, wong sudah pada tua, mereka juga orang Islam."
Di akhir ceritanya, kiai Nuril mengingatkan kembali soal pentingnya belajar. "Belajar itu ada gurunya, biar mengerti mana bendera, mana agama, biar paham ada dawuh kiai, apa kata PKI."
Penulis: Hamzah Sahal