Nasional

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat Minta DPR Akhiri Penundaan 10 Tahun demi Keadilan dan Ekonomi Kerakyatan

Kamis, 9 Oktober 2025 | 12:30 WIB

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat Minta DPR Akhiri Penundaan 10 Tahun demi Keadilan dan Ekonomi Kerakyatan

Diskusi Publik bertajuk “Ekonomi Kerakyatan dan Pengakuan Masyarakat Adat” yang digelar di Jakarta Selatan, pada Rabu (8/10/2025). (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online 

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak DPR RI untuk segera mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang telah tertunda lebih dari satu dekade.


Desakan ini disampaikan dalam Diskusi Publik bertajuk “Ekonomi Kerakyatan dan Pengakuan Masyarakat Adat” yang digelar di Jakarta Selatan, pada Rabu (8/10/2025).


Kegiatan ini menghadirkan beragam pihak, mulai dari akademisi, anggota parlemen, hingga tokoh masyarakat adat. Diskusi difokuskan pada bagaimana pengesahan RUU ini dapat memperkuat ekonomi berbasis komunitas dan mendorong pembangunan berkelanjutan.


Perwakilan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Abdon Nababan, menegaskan pentingnya pengakuan negara terhadap sistem ekonomi masyarakat adat yang berbasis nilai budaya dan kelestarian lingkungan.


“Selama ini masyarakat adat membangun sistem ekonomi yang berakar pada nilai dan keberlanjutan. Tapi model ekstraktif seringkali justru merusak dan menyingkirkan mereka,” ujar Abdon melalui keterangan yang diterima NU Online Kamis (9/10/2025).


Ia menambahkan, masyarakat adat tidak menolak investasi, asalkan tidak merusak tanah adat dan melibatkan komunitas dalam pengambilan keputusan. 


“Kami ingin RUU ini disahkan agar masyarakat adat menjadi subjek pembangunan, bukan objeknya,” tegasnya.


Perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Annas Raden Syarif menilai masyarakat adat merupakan pondasi ekonomi bangsa sekaligus penjaga kebinekaan. Berdasarkan pemetaan AMAN, ada lebih dari 1.000 komunitas adat dengan wilayah seluas 33,6 juta hektar yang dikelola secara mandiri.


“Satu wilayah adat bisa memiliki potensi ekonomi hingga Rp1 miliar. Pengakuan hak tanah adat berbasis peta yang jelas akan mendorong tumbuhnya ekonomi lokal dan keberlanjutan,” jelas Annas.


Sementara itu, Anggota DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyambut baik upaya Koalisi. Ia menilai penting untuk memperjelas definisi masyarakat adat agar tidak terjadi tumpang tindih klaim.


“RUU ini harus memberi definisi yang jelas dan adil. Masyarakat adat telah hidup jauh sebelum klaim administratif muncul. Potensi ekonomi mereka besar dan perlu diberdayakan,” ujarnya.


Senada, Anggota DPR RI Riyono memastikan komitmen partainya untuk mengawal proses legislasi. “Naskah akademik sudah ada, tinggal pembahasan bersama pemerintah. PKS siap memperjuangkan agar RUU ini segera disahkan,” katanya.


Dari sisi ekonomi, Direktur CELIOS Nailul Huda menegaskan bahwa sistem ekonomi nasional saat ini masih terlalu berpihak pada model ekstraktif yang tidak berkelanjutan.


“Ekonomi masyarakat adat jauh lebih inklusif dan kolektif. Mereka membangun pariwisata berbasis komunitas dan ekonomi yang menghitung manusia sebagai bagian dari komunitas, bukan sekadar tenaga kerja,” ungkapnya.


Menurutnya, model ekonomi adat bisa menjadi dasar baru pembangunan nasional. “Kita harus beralih ke model ekonomi yang adil bagi manusia dan alam,” tambahnya.


Melengkapi diskusi itu, Guru Besar Universitas Padjadjaran Prof Zuzy Anna menyoroti kekuatan institusi sosial masyarakat adat sebagai fondasi ekonomi yang sering diabaikan.


“Mereka punya nilai dan produktivitas luar biasa, meskipun belum tercatat dalam sensus ekonomi. Kalau diukur dengan standar UMR, penghasilan masyarakat adat bisa lebih tinggi,” jelasnya.


Ia menyebut penguatan institusi adat sebagai “deep determinant” dari ekonomi adat. “Inilah modal utama yang bisa menjaga keberlanjutan,” tambah Zuzy.


Koalisi menegaskan bahwa pengakuan hak-hak masyarakat adat tidak hanya penting secara hukum, tetapi juga strategis untuk membangun ekonomi kerakyatan dan menjaga keberlanjutan nasional.