Nasional

Kolaborasi Orang Tua dan Anak Jadi Kunci dalam Keamanan Bermain Game Online

Jumat, 21 November 2025 | 13:00 WIB

Kolaborasi Orang Tua dan Anak Jadi Kunci dalam Keamanan Bermain Game Online

Diskusi Festival Hari Anak 2025 yang bertanjuk Aksi Kolaboratif Dalam Rangka Pemenuhan Hak Anak Menuju Indonesia Emas 2045 di Jakarta pada Kamis (20/11/2025). (Foto: NU ONline/Jannah)

Jakarta, NU Online

Kolaborasi antara orang tua dan anak menjadi kunci dalam menciptakan pengalaman bermain game online yang aman di era digital.


Pengawasan tidak cukup dilakukan hanya melalui fitur teknis, tetapi membutuhkan komunikasi dua arah agar anak memahami risiko digital dan orang tua mengetahui cara mengawasinya.


Manager The Lego Group Ardi Hendharto menyampaikan bahwa pendekatan yang melibatkan anak dan orang tua secara bersama menjadi langkah penting dalam memastikan keamanan digital bagi anak.


“Yang dibekali dalam kasus game anak ini perlu dua arah, anaknya dan orang tuanya dengan cara yang sederhana, ajak ngobrol ajak bermain ini loh digital safety begini, jadi membuat orang tua ini paham, oh ada game yang aman untuk anak,” ujarnya dalam Diskusi Festival Hari Anak 2025 bertajuk Peta Jalan Perlindungan Anak di Dalam Jaringan: Aksi Nyata dan Kolaborasi, yang digelar di Jakarta, Kamis (20/11/2025).


Ardi menjelaskan bahwa tingkat literasi keamanan digital global berada di angka 55 persen, sedangkan Indonesia baru mencapai 41 persen. Karena itu, menurutnya, fitur keamanan seperti verifikasi usia tetap harus dibarengi dengan pengawasan aktif dari orang tua.


“Contoh ketika orang tua ngasih-ngasih aja KTP-nya untuk verifikasi, maka ini tugas kita sebagai orang tua dan orang dewasa untuk saatnya mengatakan ‘oh tidak boleh’. Jadi humanisnya bisa terlihat dari situ,” katanya.


Direktur Jenderal Ekosistem Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Alexander Sabar menekankan perlunya penerapan klasifikasi usia dan verifikasi pengguna oleh para perusahaan game online untuk mendukung perlindungan anak.


Kebijakan ini, menurutnya, menjadi bagian dari upaya mencegah anak mengakses konten atau fitur yang tidak sesuai usianya.


“Seharusnya para publisher game untuk menetapkan game di sini cocoknya untuk apa, usia berapa, sehingga di game-game ini ada verifikasi usia. Ini yang dimintakan kepada publisher game dalam rangka perlindungan kepada user-nya terutamanya kepada anak,” katanya.


Alexander juga mengingatkan bahwa fitur komunikasi dalam gim, baik melalui chat maupun suara, memiliki risiko interaksi dengan pihak tidak dikenal.


Dalam Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas), disebutkan bahwa anak di bawah 13 tahun tidak diperbolehkan mengakses fitur komunikasi.


“Suara itu sekarang bisa diambil untuk melakukan penipuan,” tuturnya.


Sementara itu, Plt Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Ratna Susianawati menegaskan, percepatan penggunaan teknologi menuntut edukasi yang lebih intens kepada anak maupun orang tua. Ia menilai peningkatan akses teknologi harus dibarengi kemampuan memahami potensi risiko digital.


“Penggunaan teknologi ini di satu sisi menjadi kebutuhan karena globalisasi, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) lima tahun terakhir ini kenaikannya hampir 50 persen, ini artinya kita perlu meningkatkan edukasi kepada anak-anak,” ujarnya.