Nasional

Komnas HAM dan Perempuan Persoalkan Gelar Pahlawan Soeharto: Ada Luka yang Belum Selesai

Selasa, 11 November 2025 | 20:15 WIB

Komnas HAM dan Perempuan Persoalkan Gelar Pahlawan Soeharto: Ada Luka yang Belum Selesai

Soeharto. (Ilustrasi: NU Online/Aceng)

Jakarta, NU Online

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan keberatan atas penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2025.


Kedua lembaga ini menilai keputusan tersebut berpotensi melukai para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan keluarga mereka, serta mengaburkan ingatan publik atas sejarah kekerasan negara pada masa Orde Baru.


Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyampaikan bahwa penetapan tersebut bertentangan dengan semangat Reformasi 1998 yang menolak praktik korupsi, kolusi, nepotisme, serta menuntut penuntasan kasus pelanggaran HAM.


“Penetapan ini tidak hanya mencederai cita-cita Reformasi 1998 yang mengamanatkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penetapan sebagai pahlawan nasional mencederai fakta sejarah dari pelbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto 1966-1998,” ujarnya dalam pernyataan sikap Komnas HAM pada Senin (10/11/2025).


Komnas HAM mencatat sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat pada masa tersebut, di antaranya peristiwa 1965/1966, penembakan misterius, Talangsari, Tanjung Priok, dan penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh.


Seluruh kasus itu telah diselidiki dan disimpulkan sebagai pelanggaran HAM berat sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.


“Presiden Joko Widodo pada 2023 telah menyatakan penyesalan dan mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat. Penetapan Soeharto (sebagai Pahlawan Nasional) tidak hanya melukai para korban pelanggaran HAM yang berat, namun juga keluarganya yang masih terus menuntut hak-haknya sampai saat ini,” lanjut Anis.


Komnas HAM menilai, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto tidak boleh dimaknai sebagai bentuk penghapusan tanggung jawab negara. Pelanggaran HAM berat harus tetap diproses dan dituntaskan demi keadilan dan kebenaran.


“Pemerintah seharusnya lebih hati-hati dalam penetapan pahlawan nasional, karena gelar kehormatan tersebut akan menjadi inspirasi dan teladan anak bangsa terhadap jejak perjuangan, keadilan, dan kemanusiaan dalam upaya membangun bangsa melalui nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia,” tegasnya.


Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, mencatat ada sembilan kasus yang terjadi di masa Orde Baru Soeharto.


Komnas HAM menyebut sembilan kasus itu sebagai pelanggaran HAM berat, sehingga menyelesaikannya melalui jalur hukum adalah keniscayaan konstitusional.


Pertama, peristiwa 1965-1966. Peristiwa ini terjadi ketika Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) mengoordinasikan penangkapan, pembunuhan, dan pembuangan massal ke Pulau Buru. Komnas HAM menyebut praktik ini sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.


Kedua, operasi penembakan misterius (Petrus) pada 1981-1985. Operasi ini menewaskan ribuan orang tanpa proses hukum. Kebijakan ini disebut sebagai bentuk efek kejut atas kriminalitas, sebagaimana tercantum dalam otobiografi Soeharto dan laporan Amnesty International.


Ketiga dan Keempat, peristiwa Tanjung Priok 1984 dan Talangsari 1989. Peristiwa ini menjadi dua titik berdarah akibat kebijakan represif negara dalam menerapkan asas tunggal Pancasila. Dalam kedua kasus ini, ratusan orang tewas dan ribuan lainnya mengalami penyiksaan, pengusiran paksa, dan penghilangan kemerdekaan.


Kelima, operasi militer di Aceh selama status Daerah Operasi Militer (DOM) antara 1989-1998. Operasi ini juga masuk dalam daftar pelanggaran HAM berat.


Komnas HAM mencatat ratusan korban kekerasan seksual, penyiksaan, hingga penghilangan paksa yang terjadi secara sistematis selama periode ini.


Keenam, penghilangan paksa aktivis 1997-1998. Peristiwa ini melibatkan Tim Mawar dari Kopassus. Dari 23 aktivis yang diculik, hanya 9 yang kembali, sementara sisanya hilang hingga kini.


Ketujuh dan Kedelapan, Tragedi Trisakti dan Semanggi I-II yang menewaskan mahasiswa karena memprotes kepemimpinan Soeharto dan militerisme dalam politik. Komnas HAM telah menyatakan bahwa peristiwa ini termasuk pelanggaran HAM berat.


Kesembilan, kerusuhan Mei 1998. Peristiwa ini menjadi babak akhir kekuasaan Soeharto yang sarat kekerasan massal, pembunuhan, perkosaan, penjarahan, dan penyerangan terhadap etnis Tionghoa, dengan aparat keamanan yang dinilai gagal menjalankan tanggung jawab konstitusional mereka.


Senada dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan menyatakan bahwa pemberian gelar kepada Soeharto berpotensi mengabaikan pengalaman korban pelanggaran HAM, termasuk perempuan yang mengalami kekerasan dalam situasi konflik dan represi politik pada masa Orde Baru.


“Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto tidak hanya mengabaikan fakta sejarah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru, tetapi juga mengancam memori kolektif bangsa, melanggengkan impunitas, dan mengingkari perjuangan para korban dan penyintas, terutama perempuan yang menjadi korban kekerasan di tengah konflik dan represi politik pada masa itu,” ungkap Komnas Perempuan dalam pernyataan resminya.


Komnas Perempuan mengingatkan bahwa lembaga ini lahir dari Tragedi Mei 1998, yang mencatat korban tewas, kekerasan, dan kekerasan seksual terhadap perempuan di berbagai wilayah.


Berdasarkan data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), terdapat 1.190 korban tewas di Jakarta dan sejumlah peristiwa serupa terjadi di kota-kota lain.


Komnas Perempuan mengingatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan pada masa Orde Baru tidak hanya bersifat fisik atau seksual, tetapi juga bersifat struktural melalui kebijakan negara yang meminggirkan peran dan ruang sosial perempuan.


Dampak panjang tersebut masih terasa hingga kini, ditunjukkan dengan rendahnya keterwakilan perempuan dalam politik, bias gender dalam kebijakan publik, dan minimnya pengakuan terhadap sejarah perjuangan perempuan.


Dalam merespons wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, Komnas Perempuan mendorong sejumlah hal.


Pertama, penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, termasuk pemulihan korban perempuan.


Kedua, lembaga pendidikan dan media menjaga integritas sejarah dan menolak pemutihan fakta kekerasan negara.


Ketiga, masyarakat sipil memperkuat literasi sejarah serta terus memperjuangkan keadilan dan kesetaraan.