Gusdurian: Gelar Pahlawan untuk Soeharto Membuka Luka Sejarah Paling Kelam Bangsa Indonesia
NU Online · Senin, 10 November 2025 | 13:30 WIB
Jakarta, NU Online
Jaringan Gusdurian menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Ke-2 Soeharto. Pemberian gelar itu dinilai dapat membuka kembali luka sejarah kelam bangsa Indonesia akibat praktik otoritarianisme dan pelanggaran hak asasi manusia selama rezim Orde Baru.
Direktur Jaringan Gusdurian Alissa menjelaskan bahwa Hari Pahlawan mestinya menjadi momentum untuk mengenang keteladanan tokoh yang telah mengorbankan diri demi kemerdekaan dan kemaslahatan rakyat. Namun, keputusan pemerintah untuk memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto justru dinilai bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
“Selama berkuasa, Soeharto terlibat dalam berbagai tindakan yang mencederai nilai-nilai kepahlawanan. Rezim Orde Baru melakukan pelanggaran hak asasi manusia, praktik korupsi, represi politik, hingga pembatasan kebebasan sipil,” kata Alissa melalui keterangan tertulis yang diterima NU Online, pada Senin (10/11/2025).
Ia menegaskan bahwa rekam jejak Soeharto tidak selaras dengan ketentuan integritas moral dan keteladanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Karena itu, menurutnya, pemberian gelar kepada Soeharto tidak dapat dibenarkan secara moral maupun historis.
“Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan sebuah pengkhianatan pada demokrasi, khususnya terhadap gerakan reformasi yang telah menumbangkan rezim otoritarianisme yang korup,” ujarnya.
Dalam sikap resminya, Jaringan Gusdurian menyampaikan tiga poin. Pertama, menolak secara tegas pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dan menyebutnya sebagai langkah yang bertentangan dengan semangat reformasi serta cita-cita demokrasi.
Kedua, menyayangkan keputusan Presiden Prabowo Subianto dan jajaran pemerintah yang dianggap tidak mempertimbangkan dimensi etis dan historis secara bijak, melainkan dipengaruhi oleh relasi politik dan kepentingan kekuasaan.
Ketiga, mendesak pemerintah untuk lebih berhati-hati dan selektif dalam memberikan gelar pahlawan di masa mendatang.
Gelar pahlawan, kata Alissa, hanya layak diberikan kepada tokoh yang memiliki integritas moral kuat dan terbukti mengutamakan kepentingan rakyat, bukan mereka yang justru mengorbankan rakyat atas nama kekuasaan.
“Kami menegaskan bahwa bukan jabatan dan kekuasaan yang menentukan seseorang dapat disebut pahlawan, melainkan karakter moral etis, terutama terkait tindakan yang mengangkat kemaslahatan masyarakat dan menjaga harkat martabat manusia,” tutur Alissa.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua