Nasional

Soeharto Pahlawan Nasional, Sejarawan: Ingatan Kekejaman Orde Baru Harus Dirawat di Ruang-Ruang Rakyat

NU Online  ·  Senin, 10 November 2025 | 16:45 WIB

Soeharto Pahlawan Nasional, Sejarawan: Ingatan Kekejaman Orde Baru Harus Dirawat di Ruang-Ruang Rakyat

Sejarawan Andi Achdian. (Foto: dok NU Online)

Jakarta, NU Online 

Andi Achdian, Sejarawan Universitas Nasional (UNAS) menyebut memori terhadap kekuasaan Soeharto tidak bisa dipertahankan hanya lewat teks akademik. Tetapi harus dihidupkan kembali melalui praktik sosial rakyat. Dengan demikian, sejarah bukan sekadar arsip masa lalu, melainkan arena pertarungan makna antara yang berkuasa dan yang dikuasai.


"Dalam konteks ini, ingatan tentang represi Orde Baru mesti dirawat lewat ruang-ruang rakyat melalui kegiatan diskusi, arsip komunitas, mural, film, dan praktik kultural di luar institusi resmi negara. Di situlah sejarah sosial bekerja hingga dapat menghidupkan kembali suara mereka yang dibungkam oleh narasi pembangunan," ujar Andi Achdian dihubungi Senin (10/11/2025) di Jakarta.


Dia tidak memungkiri bahwa kepahlawanan memang tidak pernah sepenuhnya netral. Ia merupakan bagian dari politik representasi negara dan sebuah instrumen ideologis untuk mengatur bagaimana bangsa mengingat dirinya sendiri.


"Ketika Soeharto diusulkan menjadi pahlawan, hal itu menunjukkan bahwa negara sedang menulis ulang sejarah, bukan berdasarkan rekam jejak moral, melainkan kebutuhan legitimasi politik hari ini," terang Andi.


Dalam arti lain, lanjutnya, kepahlawanan Soeharto menjadi alat untuk menormalkan masa lalu yang penuh kekerasan dan menjinakkan sejarah rakyat menjadi versi yang rapi dan berhasil.


"Kepahlawanan yang sesungguhnya tidak pernah lahir dari keputusan birokrasi. Ia lahir dari pengakuan sosial dari pengalaman kolektif yang mengenali siapa yang berjuang demi kemanusiaan, bukan demi kekuasaan. Yang penting bukan gelar, melainkan relasi rakyat dengan tokoh-tokohnya," jelas Andi yang juga Dosen Sosiologi UNAS.


Politik Memori

Ketika negara memonopoli definisi pahlawan yang terjadi adalah penghapusan proses sosial yang hidup di bawah. Sejarah bangsa tidak bisa terus-menerus ditentukan oleh keputusan formal kenegaraan, melainkan harus dikembalikan kepada publik sebagai komunitas sejarah.


"Problemnya ada pada struktur kekuasaan dan politik ekonomi Orde Baru. Soeharto membangun sistem kapitalisme birokratik yang menggandeng militer dan kroni bisnis, menghasilkan ketimpangan sosial yang akut. Korupsi, kolusi, dan nepotisme bukan sekadar perilaku individu, melainkan hasil dari pembangunan yang terkonsentrasi pada segelintir elit," tandasnya.


Selain itu, ia juga mengimbuhkan adanya depolitisasi rakyat, pembungkaman serikat pekerja, pengekangan kebebasan akademik, serta pelarangan partai-partai oposisi adalah bagian dari proyek politik besar untuk mematikan kesadaran kritis. 


"Problemnya adalah dalam legitimasi kekuasaan di Indonesia. Sejak masa kolonial, masa kolonial, relasi antara penguasa dan rakyat dibangun atas dasar bapakisme sebuah logika paternalistik yang menganggap rakyat sebagai anak-anak yang harus diatur," tuturnya.


Dalam Orde Baru, logika itu dihidupkan kembali melalui bahasa pembangunan dan stabilitas nasional. Negara mengambil peran sebagai pelindung, sementara rakyat dijadikan objek kebijakan. Akibatnya, kekuasaan memperoleh justifikasi moral bukan karena rakyat sadar, tetapi karena mereka diposisikan sebagai pihak yang tidak berdaya.


"Legitimasi Soeharto bukan hasil kesadaran politik rakyat, tetapi hasil rekayasa ideologis yang menanamkan rasa takut dan ketergantungan," sambungnya.


Pengakuan gelar tersebut tidak semata-mata hanya disebut dengan manipulasi hukum, tetapi bagian dari politik memori dan bahasa hukum. Hukum tidak berdiri di ruang otonom ia selalu dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa. Dalam konteks ini, hukum dipakai untuk menormalisasi sejarah yang telah diselewengkan.


"Manipulasi hukum hanyalah salah satu instrumen dalam proyek yang lebih besar: membangun narasi hegemonik tentang negara yang tidak bersalah," ujarnya.


Makna Pahlawan Menjadi Samar

Senada, Ibnu Nurhuda Kasendar, Sosiolog Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menyebut, kontroversi gelar pahlawan nasional Soeharto sebagai pahlawan nasional makin menyeruak. Pasalnya makna kepahlawanan dari Soeharto terlihat samar secara fungsional, namun secara struktural masih memiliki status quo menjadi alat legitimasi hegemoni.


Kata Ibnu, paradigma tersebut kurang begitu kuat dan tidak mempunyai alasan yang besar untuk dijadikan sebuah deklarasi sebagai pahlawan nasional.


"Dalam hal ini, perlu ada proses refleksi oleh kalangan elit soal relevansinya dengan kebutuhan semangat cinta tanah air di kalangan akar rumput atau rakyat," kata Ibnu, Senin (10/11/2025).


Pahlawan nasional selama ini muncul dari semangat kontributif dari tokoh daerah yang berdampak pada perubahan negara yang lebih progresif secara kelembagaan berikut fungsinya yang bersamaan dengan "agenda pemantapan status quo negara Indonesia" yang hampir pakem digunakan sampai hari ini. 


"Faktor agenda berspektrum luas inilah yang agaknya sangat sulit didobrak oleh para pengusul Soeharto," imbuhnya.


Menurutnya, penyematan gelar pahlawan nasional masih relevan asalkan seseorang tersebut sumbangsih dalam menanamkan nilai-nilai kepahlawanan.


"Nilai-nilai seperti kebenaran, kejujuran, dan keberpihakan kepada rakyat. Jadi, bukan sekadar soal jasa, tapi juga nilai yang ditinggalkan bagi generasi setelahnya," tandasnya


Namun mirisnya, tragedi-tragedi besar dalam sejarah Indonesia tidak bisa lenyap dalam ingatan rakyat, hambatan dalam menyampaikan pendapat, pembunuhan, pemberangusan pers, hingga praktik korupsi yang sistemik. 


"Semua itu meninggalkan dampak panjang dalam kehidupan sosial dan demokrasi kita. Jadi, kalau bicara soal gelar kehormatan, penting untuk melihat sejarah secara utuh bukan hanya keberhasilan ekonomi, tapi juga bagaimana kekuasaan dijalankan dan siapa yang menjadi korban di baliknya," papar Ibnu.


Jika ditarik dari masa rezim orde baru, legitimasi banyak dibangun lewat narasi stabilitas dan pembangunan. Rakyat menerima karena situasi politik dan informasi saat itu memang dikendalikan dengan ketat. 


"Legitimasi tidak bisa lagi datang dari kekuasaan saja, tapi dari kepercayaan publik yang sekarang mulai tumbuh lewat keterbukaan, keadilan, dan tanggung jawab," ujarnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang