Amnesty: Gelar Pahlawan untuk Soeharto dan Sarwo Edhie Pemutarbalikan Sejarah
NU Online · Selasa, 11 November 2025 | 08:00 WIB
Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto (kiri) dan Sarwo Edhie (kanan) dinilai sebagai pemutarbalikan sejarah. (Foto: istimewa)
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengecam keras keputusan Presiden Prabowo yang menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo. Ia menilai keputusan tersebut sebagai langkah mundur yang mengkhianati Reformasi 1998 dan mengabaikan penderitaan jutaan korban pelanggaran HAM berat.
Usman menegaskan bahwa pemerintah semestinya berpihak pada korban, bukan pada pelaku. “Gelar pahlawan untuk Soeharto dan Sarwo Edhie adalah pemutarbalikan sejarah dan penghinaan terhadap jutaan korban pelanggaran HAM Orde Baru. Ini jelas bertentangan dengan cita-cita Reformasi 1998,” ujarnya kepada NU Online Senin (10/11/2025).
Menurutnya, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi warga negara. Ia menilai keputusan tersebut justru menunjukkan bahwa negara sedang mengingkari mandat konstitusi.
“Negara wajib menjamin HAM warganya. Yang terjadi sekarang justru sebaliknya, negara memberi penghargaan kepada pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan paling serius dalam sejarah kita,” ucapnya.
“Ini bukan kesalahan, ini kejahatan serius” tegasnya.
Usman menolak anggapan yang berupaya mereduksi tragedi kemanusiaan masa Orde Baru sebagai sekadar kesalahan yang bisa dimaafkan. Ia menegaskan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut tergolong kejahatan berat yang tidak dapat diputihkan.
“Ini bukan kesalahan, ini kejahatan yang tergolong paling serius. Secara hukum maupun etika, pelanggaran seperti ini tidak bisa diputihkan oleh waktu atau kekuasaan,” tegasnya.
Ia memperingatkan bahwa normalisasi kekerasan negara dan penghapusan memori kolektif akan membawa bangsa pada krisis moral.
“Kalau bangsa tidak lagi bisa membedakan mana yang benar dan salah, itu bukan sekadar masalah sejarah. Itu arah menuju malapetaka,” kata Usman.
Usman juga menyoroti potensi konflik kepentingan dalam penetapan gelar tersebut. Ia mengatakan keputusan itu semakin menegaskan bahwa kekuasaan hari ini sedang terseret kembali ke pola lama yang feodal dan menindas.
“Keputusan ini diambil oleh presiden yang memiliki hubungan kekerabatan langsung dengan Soeharto. Ini menimbulkan kesan kuat bahwa negara kembali tunduk pada kekuasaan yang menindas,” ujarnya.
Ia turut menyinggung dukungan sejumlah tokoh politik yang dinilai sarat kepentingan keluarga. Menurutnya, Pengusulan dan dukungan untuk gelar ini sarat praktik nepotisme. Ini benar-benar mengkhianati agenda pemberantasan KKN yang menjadi semangat Reformasi.
Usman mengingatkan bahwa Soeharto bertanggung jawab atas sederet pelanggaran HAM berat yakni:
- Pembantaian massal 1965–1966
- Penembakan misterius (Petrus) 1982–1985
- Tragedi Tanjung Priok 1984
- Talangsari 1989
- Kekerasan di Aceh, Timor Timur, Papua
- Penghilangan paksa aktivis 1997–1998
Ia menegaskan bahwa hingga kini para korban belum memperoleh keadilan maupun pemulihan.
“Jutaan korban belum mendapatkan kebenaran, keadilan, maupun pemulihan. Tidak satu pun pelaku utamanya pernah diadili, termasuk Soeharto,” kata Usman.
Usman juga mengkritik upaya penulisan ulang sejarah yang dikhawatirkan akan menghapus jejak kekerasan negara.
“Kami melihat adanya upaya sistematis untuk menulis ulang sejarah Indonesia dengan menyingkirkan penderitaan korban dan perlawanan rakyat terhadap otoritarianisme Orde Baru,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa rangkaian kebijakan pemerintah akhir-akhir ini telah membentuk ekosistem impunitas yang semakin mengakar.
“Dari usulan mencabut nama Soeharto dari TAP MPR hingga penetapan gelar pahlawan, semua ini membentuk infrastruktur impunitas yang sempurna,” tambahnya.
Usman mendesak pemerintah untuk segera membatalkan gelar tersebut. “Kalau negara mau berdiri di sisi korban, bukan pelaku, gelar ini harus dibatalkan,” tegasnya.
Ia memberikan lima tuntutan kepada Presiden Prabowo untuk segera dipenuhi mulai dari pembatalan gelar pahlawan Soeharto sampai menegakan kembali reformasi 1998.
“Pertama, batalkan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto dan Sarwo Edhie. Kedua, usut semua pelanggaran HAM masa lalu. Ketiga, tegakkan hukum dan pulihkan martabat korban. Keempat, tolak segala bentuk manipulasi sejarah dan glorifikasi pelaku kekerasan. Kelima, tegakkan kembali cita-cita Reformasi 1998 yaitu berantas KKN, tegakkan HAM, dan pastikan supremasi hukum," pungkasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua