Nasional

Akademisi Sebut Pemberian Gelar Soeharto sebagai Pahlawan Batalkan Cita-Cita Reformasi

NU Online  ·  Senin, 10 November 2025 | 20:45 WIB

Akademisi Sebut Pemberian Gelar Soeharto sebagai Pahlawan Batalkan Cita-Cita Reformasi

Pengajar Filsafat Universitas Pelita Harapan Alexander Aurelius dalam Kuliah Terbuka bertajuk Etika Memori dan Impunitas Sejarah di Ruang dan Tempo yang digelar di Gedung Tempo, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Senin (10/11/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)

Jakarta, NU Online

Pengajar Filsafat Universitas Pelita Harapan Alexander Aurelius menilai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sama saja dengan membatalkan cita-cita Reformasi 1998, sekaligus pengkhianatan terhadap perjuangan para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu.


Pandangan itu disampaikan Alex dalam Kuliah Terbuka bertajuk Etika Memori dan Impunitas Sejarah di Ruang dan Tempo yang digelar di Gedung Tempo, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Senin (10/11/2025).


Alex menegaskan, keputusan pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan menghapus jejak kejahatan kemanusiaan yang terjadi selama 32 tahun masa kekuasaannya.


“Apa yang dilakukan kekuasaan hari ini dengan memberi gelar pahlawan kepada Soeharto seolah membatalkan seluruh kejahatan kemanusiaan di masa lalu, termasuk juga membatalkan semangat Reformasi 1998,” ujarnya.


Alex menjelaskan bahwa hingga kini, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia tak pernah tuntas karena persoalan tersebut kerap dipolitisasi alih-alih diselesaikan melalui jalur hukum.


“Bukan karena tidak ada instrumen hukum, tetapi karena isu HAM sering dijadikan agenda politik. Padahal, penyelesaian baik secara yudisial maupun non-yudisial adalah tanggung jawab negara,” katanya.


Menurut Alex, negara semestinya memulihkan martabat para korban melalui rehabilitasi, kebijakan pemulihan, serta pengakuan atas kesalahan negara.


“Negara harus meminta maaf kepada para korban dan berkomitmen untuk tidak mengulangi hal serupa di masa depan. Namun, hingga kini hal itu belum pernah dilakukan,” tegasnya.


Alex juga mengkritik keras langkah pemerintah yang justru memberikan penghormatan kepada pemimpin otoriter dengan dalih keberhasilan pembangunan.


Ia menilai, tindakan tersebut merupakan bentuk nyata impunitas sejarah, yakni pembenaran atas pelanggaran HAM di masa lalu.


Mengutip pemikiran Elizabeth F Drexler, Alex menyebut bahwa infrastruktur impunitas masih terus hidup pasca-Orde Baru, baik melalui propaganda, birokrasi, maupun stigma yang menormalisasi kejahatan masa lalu.


“Pemberian gelar pahlawan kepada pemimpin otoriter dengan alasan keberhasilan politik pembangunan jelas cacat moral,” ujarnya.


“Jika keberhasilan itu dicapai melalui manipulasi dan menjadikan rakyat sebagai alat politik, maka tindakan tersebut melanggar prinsip moral, baik secara deontologis maupun utilitarian,” jelasnya.


Dalam konteks etika memori, kata Alex, bangsa Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga ingatan kolektif yang berpihak pada kebenaran dan keadilan bagi para korban.


“Tugas etis terbesar kita adalah memastikan ingatan kolektif menjadi sarana penyembuhan, bukan dendam. Ingatan yang ditebus menjadikan sejarah bukan sekadar masa lalu yang ditangisi, tetapi sumber nilai untuk membangun masa depan yang lebih adil,” ungkapnya.


Ia juga menanggapi pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut Soeharto bukan pelaku kejahatan kemanusiaan karena tidak ada bukti hukum. Menurutnya, pernyataan Fadli Zon itu naif dan ahistoris.


“Pemimpin tidak pernah bertindak sendirian. Ia memiliki infrastruktur kekuasaan, dan pada masa Soeharto, kekuasaan itu dijalankan melalui militer. Mengatakan Soeharto tidak terlibat berarti menafikan fakta sejarah,” ujarnya.


Alex menegaskan bahwa berbagai riset, baik di dalam maupun luar negeri, telah membuktikan keterlibatan Soeharto dalam kebijakan yang menimbulkan pelanggaran HAM.


Ia menilai, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan hanya tidak pantas secara moral, tetapi juga berbahaya bagi masa depan demokrasi.


“Mengingat tragedi kemanusiaan memang menyakitkan, tetapi melupakan justru lebih berbahaya. Mengingat bukan untuk menorehkan luka baru, melainkan agar kita bisa melangkah maju,” tuturnya.


“Negara harus berani mengakui kejahatan masa lalu, meminta maaf kepada korban, dan memastikan sistem hukum berjalan. Jika tidak, kita akan terus hidup dalam bayang-bayang impunitas sejarah,” pungkasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang