Nasional

Mahasiswa NU Kritik Pengesahan RUU TNI, Soroti Supremasi Sipil dan Demokrasi

Jumat, 21 Maret 2025 | 12:00 WIB

Mahasiswa NU Kritik Pengesahan RUU TNI, Soroti Supremasi Sipil dan Demokrasi

Ilustrasi. Sejumlah tuntutan massa aksi terpampang di spanduk gerbang DPR RI, Jakarta, pada Kamis (20/3/2025) kemarin. (Foto: NU Online/Suci)

Yogyakarta, NU Online

Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (BEM PTNU) Daerah Istimewa Yogyakarta, Dzulfahmi, mengkritik revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Kamis (20/3/2025). Ia menilai revisi tersebut berpotensi melemahkan supremasi sipil dan mengancam demokrasi di Indonesia.  


"Pengesahan revisi UU TNI ini merupakan momen penting yang harus dikaji secara kritis. Sebagai mahasiswa Nahdlatul Ulama, kita memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk mempertanyakan siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat," kata Dzulfahmi dalam keterangan tertulis kepada NU Online, Jumat (21/3/2025).  


Ia menyoroti beberapa poin dalam revisi UU TNI yang dinilai problematis, salah satunya terkait kewenangan TNI dalam ranah sipil. Menurutnya, revisi tersebut membuka peluang bagi militer untuk lebih aktif terlibat dalam urusan non-militer dengan dalih pertahanan dan keamanan nasional.  


"Kita harus mempertanyakan apakah pelibatan TNI dalam urusan sipil ini memang diperlukan atau justru menjadi ancaman bagi supremasi sipil? Sejarah mencatat bahwa keterlibatan militer dalam ranah sipil kerap membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan," ujarnya.  


Selain itu, Dzulfahmi juga menyoroti aspek akuntabilitas TNI dalam revisi ini. Meskipun secara normatif kedudukan TNI tetap berada di bawah presiden dan dalam koordinasi Kementerian Pertahanan, ia menilai revisi ini memberikan ruang bagi militer untuk lebih leluasa dalam pengambilan keputusan operasional tanpa mekanisme pengawasan yang ketat.  


"Apakah ada mekanisme pengawasan yang cukup untuk memastikan kekuatan militer tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik atau kelompok tertentu? Ini pertanyaan yang harus dijawab oleh pembuat kebijakan," tegasnya.  


Dzulfahmi juga mengkhawatirkan potensi kembalinya dwifungsi ABRI dalam berbagai aspek kehidupan sosial-politik. Ia menilai beberapa klausul dalam revisi UU TNI membuka peluang bagi militer untuk kembali berperan aktif di luar tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara.  


"Kita harus belajar dari sejarah bahwa dominasi militer dalam pemerintahan pada era Orde Baru menyebabkan berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan menghambat demokrasi. Jangan sampai dalih stabilitas negara dijadikan alat untuk mengontrol ruang gerak masyarakat sipil," tandasnya.  


Dalam pandangannya, revisi UU TNI ini perlu diawasi dengan ketat agar tidak menjadi instrumen kontrol negara terhadap masyarakat dengan justifikasi keamanan nasional. Ia menegaskan bahwa mahasiswa NU harus bersikap proaktif dalam mengawal kebijakan publik yang berdampak luas terhadap demokrasi dan hak-hak sipil.  


"Oleh karena itu, kami menyerukan penolakan terhadap segala bentuk militerisme dalam ranah sipil, memastikan mekanisme pengawasan yang kuat terhadap TNI, serta menolak regulasi yang berpotensi mengembalikan dwifungsi militer," ujarnya.  


Dzulfahmi menegaskan bahwa revisi UU TNI ini bukan sekadar perubahan regulasi, tetapi juga soal arah demokrasi Indonesia ke depan. Ia mengajak seluruh mahasiswa NU untuk terus melakukan kajian kritis dan advokasi guna memastikan demokrasi Indonesia tetap terjaga.  


"Sebagaimana yang diajarkan dalam tradisi NU, kita harus selalu bersikap kritis terhadap segala bentuk kekuasaan yang berpotensi menindas rakyat. Dengan semangat Islam rahmatan lil alamin, kita harus memperjuangkan negara yang demokratis, adil, dan berkeadaban," pungkasnya.