Nasional

Pengesahan RUU TNI Khianati Demokrasi

Kamis, 20 Maret 2025 | 15:15 WIB

Pengesahan RUU TNI Khianati Demokrasi

Pengesahan revisi UU TNI oleh Ketua DPR RI Puan Maharani di Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025). (Foto: tangkapan layar kanal Youtube DPR RI)

Jakarta, NU Online

 

Revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia resmi disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Kamis (20/3/2025). Meskipun protes keras dari rakyat mengemuka, DPR RI dan pemerintah tak mengindahkannya.

 

Direktur Eksekutif PARA Syndicate Virdika Rizky Utama menyebut bahwa pengesahan revisi UU TNI sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip negara demokratis yang berbasis supremasi sipil.

 

Setidaknya, ia mengungkapkan lima alasan mengenai itu. Hal ini disampaikan melalui rilis pers yang diterima NU Online pada Kamis (20/3/2025).

 

Pertama, democratic backsliding, demokrasi dikikis melalui legislasi otoriter. Menurutnya, demokrasi tidak selalu dihancurkan oleh kudeta militer atau pembubaran parlemen, tetapi sering kali dikikis dari dalam melalui regulasi yang tampak sah secara hukum, tetapi melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri.

 

"Pengesahan revisi UU TNI ini merupakan contoh nyata dari autogolpe atau self-coup—proses di mana sebuah pemerintahan mengkudeta diri sendiri melalui instrumen hukum untuk memperkuat dominasi kelompok tertentu. Dalam hal ini, supremasi sipil dikorbankan demi kepentingan elite politik dan militer," katanya.

 

Kedua, proses legislasi yang cacat mengingat dilakukan secara tertutup, elitis, dan tidak demokratis. Sebagaimana diketahui, pengesahan revisi ini dilakukan dengan cara yang jauh dari prinsip deliberasi demokratis. Tidak ada konsultasi publik yang memadai, proses legislasi berlangsung secara diam-diam, dengan naskah akademik yang hanya terdiri dari 28 halaman dan kepustakaan hanya satu halaman. 

 

"Indikasi nyata bahwa kebijakan ini dipaksakan tanpa kajian mendalam," kata penulis buku Menjerat Gus Dur itu.

 

Lebih ironis lagi, pembahasan dilakukan di hotel bintang lima, di bawah penjagaan ketat pasukan Kopassus. Seakan-akan ini adalah operasi militer, bukan penyusunan regulasi sipil yang seharusnya transparan dan akuntabel. 

 

Ketiga, militerisasi jabatan sipil yang mengubur supremasi sipil. Reformasi 1998 secara tegas memisahkan ranah sipil dan militer dengan menghapus dwifungsi ABRI. Namun, dengan pengesahan revisi UU TNI ini, perwira aktif dapat menduduki jabatan di lebih banyak lembaga strategis, termasuk Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung—dua institusi yang seharusnya independen dari intervensi kekuatan bersenjata.

 

"Ini bukan sekadar pelanggaran prinsip demokrasi, tetapi langkah nyata menuju militerisasi birokrasi sipil yang bertentangan dengan konstitusi dan semangat Reformasi," katanya.

 

Keempat, pengkhianatan total terhadap amanat Reformasi. Ia menyampaikan bahwa Reformasi 1998 adalah tonggak sejarah yang menghapus dominasi militer dalam politik dan pemerintahan sipil. Pengesahan revisi UU TNI ini adalah pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat yang telah mengorbankan nyawa dan darah demi demokrasi yang sehat. 

 

"Dengan ini, Indonesia kembali ke pola lama di mana kekuatan bersenjata memiliki pengaruh dominan dalam pengambilan keputusan strategis negara," ujarnya.

 

DPR gagal wakili rakyat, oligarki dan militer jadikannya alat

 

Virdika menyebut DPR RI yang seharusnya menjadi representasi rakyat justru telah bertindak sebagai alat kepentingan politik yang menguntungkan oligarki dan elite militer. Pengesahan revisi UU TNI ini membuktikan bahwa DPR lebih memilih melayani kepentingan kekuasaan daripada membela demokrasi dan supremasi sipil. 

 

"Dengan memberikan jalan bagi militer untuk memperluas pengaruhnya di ranah sipil, DPR telah mengkhianati mandat rakyat yang memilih mereka untuk menjaga konstitusi dan nilai-nilai demokrasi," katanya.

 

Oleh karena itu, PARA Syndicate mendesak tolak revisi UU TNI. Pengesahan revisi UU TNI memungkinkan Dwifungsi ABRI, yang telah dihapus, kembali lagi. Ini adalah langkah mundur bagi demokrasi dan supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998. 

 

Selain itu, perlu juga tekanan publik melalui gerakan sipil. Di tengah pengkhianatan DPR dan pemerintah terhadap Reformasi, publik harus terus bersuara menolak implementasi UU ini. Publik harus bersatu menolak segala bentuk kembalinya militerisme ke ranah sipil. 

 

"Tekanan dari masyarakat, media, dan komunitas akademik harus terus diperkuat agar UU ini tidak semakin mempersempit ruang demokrasi," ujar alumnus Shanghai Jiao Tong University itu.

 

Ketiga, harus ada akuntabilitas dan pengawasan terhadap TNI. Dengan diberikannya akses lebih luas kepada TNI dalam pemerintahan sipil, masyarakat harus lebih aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan mengontrol potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh militer. 

 

Ia menegaskan bahwa demokrasi tidak boleh dibiarkan runtuh perlahan di depan mata. Jika publik tetap diam, maka pengesahan ini hanyalah awal dari kemunduran yang lebih besar.

 

Tentara berpotensi duduki jabatan sipil daerah

 

Senada, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) H Hilmy Muhammad juga menyebut RUU ini tidak hanya mengancam demokrasi dan reformasi militer, tetapi juga berpotensi merugikan pembangunan daerah dengan semakin mengaburkan batas antara peran militer dan sipil.

 

“RUU TNI ini bukan hanya sebuah langkah mundur bagi demokrasi, tetapi juga bisa menghambat pembangunan daerah dengan menempatkan aktor militer dalam ranah pemerintahan sipil. Ini akan mengubah mekanisme kebijakan yang seharusnya berbasis kebutuhan masyarakat menjadi lebih berorientasi pada pendekatan keamanan,” papar pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut melalui keterangan tertulis kepada media pada Kamis (20/03/2025).

 

Menurut Senator asal DI Yogyakarta ini, RUU TNI memberikan peluang bagi perwira aktif TNI untuk menduduki jabatan di kementerian dan lembaga sipil, termasuk di pemerintahan daerah. Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam demokrasi. 

 

“Militer seharusnya fokus pada pertahanan negara, bukan berkompetisi dengan sipil dalam urusan pemerintahan. Mereka seperti mengalami disorientasi pembangunan pasca-reformasi, tidak percaya pada sipil dengan cara mengintervensi pemerintahan hasil demokrasi," katanya.

 

Alih-alih mendorong pembangunan berbasis partisipasi publik, daerah bisa mengalami stagnasi karena kebijakan yang diambil berbasis kepentingan militer. Sebab, ke depan, bukan hanya militer ada di pusat pemerintahan, tapi pasti akan ke pemda. "Dan pasti urusannya adalah kontrol militer terhadap kebijakan pembangunan daerah,” terang Katib Syuriyah PBNU tersebut.

 

Melihat kondisi saat ini, menurut Gus Hilmy, tidak ada urgensi bagi militer untuk masuk dalam pemerintahan. Sebab, ia menyebut keadaan dalam negeri terbilang aman. Pun politik luar negeri juga diterapkan secara non-blok.

 

Jika yang ditakutkan adalah nasionalisme, Gus Hilmy menawarkan solusi pembinaan wawasan Nusantara, bukan dengan militer.

 

“Kami persilakan TNI dan Polri kembali ke desk masing-masing. Tidak perlu terlalu masuk ke urusan pemerintahan,” tegas Anggota MUI Pusat tersebut.

 

Masuknya militer dalam pemerintahan, kata Gus ilmy, juga melukai amanat Reformasi 1998, di mana Indonesia telah berusaha memisahkan militer dari politik dan pemerintahan. Namun, RUU ini justru berpotensi mengembalikan praktik Dwifungsi ABRI yang pernah menjadi masalah besar di masa lalu. 

 

“Dengan adanya RUU ini, bukan tidak mungkin keputusan-keputusan daerah lebih banyak dipengaruhi oleh pendekatan militer daripada pendekatan kesejahteraan dan keadilan sosial. Ini seolah ingin mengembalikan jarum sejarah ke masa Orde Baru. Anggaran akan lebih banyak tersedot ke kebijakan berbasis pertahanan dan keamanan, maka yang akan dikorbankan adalah rakyat kecil,” tambahnya.

 

Meski demikian, Gus Hilmy mengajak kepada seluruh elemen masyarakat, akademisi, organisasi masyarakat sipil, serta para tokoh bangsa untuk mengawasi UU TNI ini yang berpotensi merusak demokrasi dan memperlambat pembangunan daerah.

 

“Kita cermati bagaimana UU TNI akan diimplementasi, dan tugas kita adalah mengawasi ketimpangan pembangunan yang terjadi,” pungkasnya.