Mengkhawatirkan, Radikalisme di Kampus Sudah Begitu Masif
Kamis, 21 November 2019 | 01:00 WIB
Ketua LP3M Universitas Jember, Akhmad Taufiq (pegang mic) saat menyampaikan pemikirannya dalam Pleno 4 Festival HAM di aula PB Sudirman, Kantor Bupati Jember. (Foto: NU Online/Aryudi AR)
Jember, NU Online
Dewasa ini, radikalisme sudah cukup mengerikan. Ini karena sejumlah kampus sudah terpapar virus yang mengagungkan kekerasan tersebut. Menurut Infid, saat ini setidaknya terdapat 10 perguruan tinggi negeri yang terpapar radikalisme.
Keterpaparan tersebut ditunjukan dengan aktivitas merakit bom, pelatihan militer, razia syariah, dan keterlibatan mahasiswa pada organisasi terlarang (HTI). Dan ini berbanding lurus dengan rentetan bom bunuh diri yang mendera tanah air, dan sebagian pelakunya ternyata mahasiswa.
Menurut Ketua LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) Universitas Jember, Jawa Timur, Akhmad Taufiq, kondisi tersebut tentu sangat merisaukan. Sebab itu berarti radikalisme cukup berhasil menebar pengaruh di kalangan mahasiswa dan akademisi yang notabene merupakan dapur pemikiran Indonesia.
“Ini kondisi yang dapat dikatakan krusial dan akut, karena perguruan tinggi sangat vital. Yaitu sebagai lembaga yang melahirkan pemimpin bangsa,” ujarnya saat menjadi narasumber dalam Pleno 4 Festival HAM di aula PB Sudirman, Kantor Bupati Jember, Rabu, (20/11).
Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) PMII Jember itu menambahkan bahwa pola rekruitmen anggota yang dilakukan kelompok radikal dengan membidik kampus sebagai target, sungguh patut disikapi dengan serius. Sebab mereka sudah berpikir jangka panjang untuk melahirkan orang-orang radikal dari kaum terdidik dan intelektual, yang pada saatnya nanti menjadi kekuatan dahsyat.
“Pola ini sudah dapat dikategorikan terstruktur, sistematik, dan masif,” jelasnya.
Taufik menegaskan, Unej juga tak luput dari bidikan kelompok radikal. Berdasarkan laporan studi pemetaan gerakan radikalisme yang dilakukan tim LP3M pada 2018, terdapat 22 persen yang terpapar radikalisme.
Dari angka itu jika diderivasi lagi menjadi radikalisme teologis, sebanyak 25 persen setuju dengan pengkafiran, qital, dan jihad. Sedangkan 20 persen lainnya masuk dalam radikalisme politis, yaitu setuju pada konsep negara Islam atau khilafah.
“Ini menunjukkan betapa pentingnya sinergi semua pihak. Meskipun, persentase tersebut belum dapat dinyatakan bahwa mereka telah melakukan tindakan kekerasan fisik, baik pada diri mereka sendiri, maupun pada orang lain,” kupasnya.
Oleh karena itu, Taufiq merekomendasikan beberapa hal. Pertama, pentingnya secara substantif pendidikan multikultural untuk mengembangkan sikap toleransi dan inklusivitas. Kedua, perlunya keterlibatan semua pihak untuk mengatasi permasalahan radikalisme.
“Mengatasi radikalisme tidaklah cukup hanya melibatkan struktur berbasis negara, tapi semua elemen masyarakat penting dilibatkan,” terangnya.
Ketiga, dalam tataran perguruan tinggi, pentingnya perhatian secara khusus dan komitmen kepemimpinan yang memiliki komitmen tegas, untuk tidak memberi ruang bagi tumbuhnya radikalisme di kampus.
“Perguruan tinggi, perlu perhatian khusus. Sebab ini jantungnya Indonesia,” pungkasnya.
Selain Taufiq, hadir juga sebagai narasumber adalah M. Zaki Mubarok, Agus Muhammad (Peneliti Infid), Libasut Taqwa (Wahid Institute), Ciciek Farha (Peneliti PVE), Tohari (Jember), dan Budi Hartawan (BNPT).
Pewarta: Aryudi AR
Editor: Ibnu Nawawi