Rabat, NU Online
Bila lebaran tiba, saya suka iri melihat teman-teman yang sibuk mempersiapkan diri untuk mudik. Dulu, saya suka heran mengapa orang-orang bersusah payah untuk mudik.
<>Jutaan orang rela mengantri panjang-panjang untuk beli tiket atau berdesak-desakan naik kendaraan umum bahkan ada yang nekat naik sepeda motor dari Jakarta ke Jawa Tengah hanya untuk sekedar bisa berlebaran di kampung halaman.
Belakangan ini, keheranan saya tersebut terjawab sudah. Apa yang membuat keheranan saya terjawab..? keheranan tersebut terjawab ketika saya dinyatakan lulus tes beasiswa ke negeri seribu benteng (Maroko) yang di adakan oleh PBNU Jakarta.
Sejak memasuki bulan Ramadhan pada tahun ini hati saya sebenarnya sudah sedih dan gelisah. Bagaimana tidak? Meski saya bukan berasal dari keluarga besar bagi saya bulan puasa selalu mempunyai kenangan manis. Sahur dan buka puasa bersama-sama merupakan saat-saat paling intim buat kami sekeluarga. Apalagi ketika bulan puasa jatuh pada musim panas setiap harinya harus menahan lapar dan dahaga sampai 17 jam lebih.
Selama bulan puasa khususnya mahasiswa Indonesia memasak bareng-bareng dan berkumpul di salah satu tempat yang sudah disiapkan oleh pemerintahan Maroko untuk menampung mahasiswa asing ketika liburan (musim panas) dan Alhamdulillah disini kami sering mendapatkan bantuan sembako dari KBRI Maroko dan Dharma Wanita Persatuan (DWP) di Maroko yang setidaknya bisa mengirit anggaran belanja.
Saat malam takbiran tiba, semua mahasiswa Indonesia mendapatkan undangan dari KBRI Rabat untuk mengumandangkan takbir bersama di aula serbaguna sekaligus pembagian zakat. Terasa senang hati ini ketika mendapatkan amplop zakat yang berisi uang, setidaknya bisa untuk membeli baju baru tapi, sepulangnya dari KBRI tiba-tiba saya teringat disaat saya bertakbir bersama keluarga dan saudara dikampung halamanku, bagaimana tidak? Malam hari raya Idul Fitri disini tak seperti umumnya di Indonesia, jika di Indonesia semua jalan raya di penuhi dengan pemuda dan pemudi sambil mengumandangkan takbir bersama disini tak satupun terdengar suara takbir . Semua masjid-masjid sepi, jalan rayapun sepi, bahkan sedikit sekali di temukan orang beraktivitas di malam itu. Seolah saya berada di tengah-tengah kota mati.
Untuk mengusir rasa sedih, saya memilih berkumpul dengan teman-teman Indonesia di salah satu apartemen milik temanku. Kami masak bareng-bareng dan cerita ngalor ngidul sampai curhat mengenai betapa rindunya kami pada keluarga.
Pagi harinya beramai-ramai kami berangkat ke Wisma Duta Indonesia untuk mengikuti sholat Ied di halaman wisma duta, rumah yang didiami oleh dubes RI di Maroko. Meski hampir semua warga Indonesia yang ada di seluruh penjuru Maroko (bahkan ada juga yang datang dari Maroko) melakukan sholat Ied di halaman Wisma Duta Indonesia namun tidak membuat tempatnya menjadi penuh karena luasnya halaman wisma tersebut.
Selesai sholat Ied, kami bersalam-salaman sekaligus halal bi halal di tempat kediaman Dubes Indonesia di Maroko, sekitar setengah jam kemudian dilanjutkan dengan acara makan-makan yang dihibur oleh group Sholawat Rabatina di tempat kediaman dinasnya yang asri, luas dan rimbun ini. Segala jenis makanan nusantara bisa ditemui dan dinikmati disini, mulai dari opor ayam, ketupat, lontong, soto madura, dan lain-lain.
Lebaran di wisma duta Indonesia juga merupakan ajang bagi kami bertemu dengan seluruh warga Indonesia dari segala penjuru Maroko. Bertemu dengan orang-orang yang senasib dan seperjuangan, membuat rasa sedih dan nelangsa saya hilang untuk sesaat. Yah, cuma sesaat!!
Setelah sholat Ied, halal bi halal dan makan makan itu usai, saya kembali ke apartemen, rasa sepi dan nelangsa kembali menyengat mengingat suasan lebaran disini tak semeriah dan seindah di Indonesia.
Saat itu baru saya sadari, bahwa betapa berartinya mereka bagi saya, orang tua yang sangat saya sayangi. Betapa saya tak berdaya tanpa mereka. Andaikan saat itu saya mahasiswa yang berkelebihan uang, ingin rasanya saya terbang ke jawa untuk sekedar bersujud di kaki mereka dan memeluk mereka erat-erat. Momen itu membuat saya sadar bahwa tiada yang lebih indah selain merayakan hari yang fitri dengan dikelilingi oleh keluarga, saudara dan kerabat tercinta.
Momen itu membuat saya mengerti dan menghormati urgensi mudik. Mengapa orang mau tuk bersusah payah, bahkan, mereka rela untuk mengorbankan materi demi mudik,karena di situlah mereka mendapatkan nilai silaturahmi yang sesungguhya yang mereka dapatkan bersama keluarga tercinta, bahkan nilai kebahagian yang terkandung tidak bisa di gantikan dengan materi, itulah sebabya mengapa tradisi mudik sudah sangat mengakar di masyarakat kita.
Biarlah kata mudik jadi perdebatan dari segala sudut pandang para pakar namun kenyataanya tradisi ini semakin berkembang. Dan akhirya semoga culture mudik tidak hanya sekedar tradisi , tapi juga bisa masuk ke dalam norma yang berlaku di dalam masyarakat kita yang mengandung nilai-nilai yang sangat universal.
Penulis : Kusnadi El Ghezwa