Pakar: Pangan Lokal Melimpah, tapi Konsumsi Nasional Masih Berpaku pada Beras
Sabtu, 6 Desember 2025 | 06:30 WIB
Guru Besar IPB Prof Herry Purnomo dalam Talkshow bertema Pangan Lokal Kunci Swasembada di Tamarin Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (5/12/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Jakarta, NU Online
Guru Besar bidang Manajemen Hutan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Herry Purnomo menyoroti rendahnya konsumsi pangan lokal di Indonesia meski sumbernya sangat beragam.
Ia menegaskan bahwa pola makan nasional masih didominasi beras, padahal banyak wilayah di Indonesia memiliki tradisi pangan yang tidak bergantung pada komoditas tersebut.
“Enam puluh persen energi kita masih dari padi-padian, dan beras menjadi yang paling dominan,” ujarnya dalam Talkshow bertema Pangan Lokal Kunci Swasembada di Tamarin Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (5/12/2025).
Ia memaparkan bahwa banyak wilayah di Indonesia, antara lain Flores, Bali, hingga Papua, sebenarnya bukan masyarakat yang mengonsumsi beras. Namun, statistik konsumsi nasional sering kali berbasis Jawa sehingga membuat seolah-olah seluruh Indonesia berorientasi pada beras.
“Kalau dilihat per orang mungkin kecil angkanya, tapi kalau dihitung per wilayah, lebih dari 50 persen wilayah Indonesia tidak bergantung pada beras,” jelasnya.
“Nenek moyang yang membawa beras itu dari Yunnan, sedangkan ubi-ubian dibawa oleh nenek moyang yang asalnya bukan dari Yunnan, termasuk dari Afrika,” tambah Prof Herry.
Karena itu, ia menilai bahwa problem sesungguhnya bukan pada lemahnya pangan lokal di daerah, tetapi pada minimnya mainstreaming (pengarusutamaan) pangan lokal di level nasional.
“Saat ini, yang jualan tiwul masih dianggap miskin. Padahal kita harus memikirkan bagaimana tiwul bisa masuk hotel berbintang? Bisa tidak pangan lokal masuk Gojek atau Grab?” katanya.
Prof Herry mengingatkan bahwa perubahan iklim akan menekan produksi beras. Sementara itu, pangan lokal seperti keladi, ubi, dan sagu relatif lebih tahan terhadap tekanan iklim.
Menurutnya, diversifikasi menurutnya bukan hanya soal ketahanan pangan, tetapi juga kedaulatan pangan.
“Setiap kenaikan 1 derajat Celsius, produktivitas beras turun sekitar 10 persen. Kalau semua diganti beras mungkin kita tahan, tapi tidak berdaulat. Beras itu fragile, sangat rentan. Rice estate juga menyebabkan degradasi dan deforestasi,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Kelompok Substansi Padi Tadah Hujan dan Lahan Kering, Direktorat Jenderal Pangan Kementerian Pertanian, Ike Widyaningrum menegaskan bahwa perubahan konsumsi pangan sangat bergantung pada pola pikir masyarakat.
“Sebenarnya kembali ke kita sebagai konsumen: sejauh mana kita mau berubah? apakah kita siap tidak makan nasi tiga kali sehari?” katanya.
“Kalau hanya pemerintah bergerak, nanti dianggap pemerintah tidak mampu menyediakan beras. Jika hanya masyarakat yang bergerak juga berat. Maka perubahan harus bersama,” tambahnya.
Ike menegaskan bahwa lahan pertanian tradisional sebenarnya memungkinkan diversifikasi. Galengan sawah bisa ditanami talas, keladi, jagung, hingga uwi. Namun banyak petani memilih meminimalkan galengan demi memperluas padi.
“Perlu dorongan agar petani kembali ke praktik tumpangsari yang merupakan tradisi turun-temurun,” ujarnya.