Nasional

Ketergantungan Impor Ancam Indonesia, Pakar Dorong Pengembangan Varietas Pangan Lokal

NU Online  ·  Selasa, 30 September 2025 | 22:00 WIB

Ketergantungan Impor Ancam Indonesia, Pakar Dorong Pengembangan Varietas Pangan Lokal

Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Prof Dwi Andreas Santosa, mengingatkan bahwa Indonesia menghadapi ancaman serius akibat tingginya ketergantungan pada pangan impor, khususnya gandum.


Menurutnya, pola konsumsi masyarakat yang bergeser dari pangan lokal ke beras, dan kini semakin dominan gandum, menempatkan Indonesia dalam posisi rawan krisis pangan.


“Sejak tahun 1970-an Indonesia mulai mengimpor gandum. Waktu itu proporsinya hanya sekitar 4 persen. Hari ini proporsinya sudah mencapai 28 persen. Kalau tren ini berlanjut, pada 100 tahun Indonesia merdeka, konsumsi gandum bisa mendekati 50 persen. Ini bahaya, karena 100 persen gandum kita impor,” tegas Prof Andreas di Jakarta, Selasa (30/9/2025).


Ia mencontohkan pengalaman negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah yang sempat mengalami krisis pangan pada 2011. Ketika pasokan gandum dunia terganggu, negara-negara yang bergantung penuh pada impor mengalami gejolak sosial besar hingga memicu gelombang pengungsi.


“Kondisi ini bisa saja terulang bila Indonesia tidak segera mengendalikan ketergantungan pangan impor,” tambahnya.


Kegagalan food estate

Prof Andreas juga menyoroti kegagalan berulang program food estate sejak era Orde Baru hingga pemerintahan saat ini.


Ia menyebut setidaknya ada empat pilar pengembangan pangan berkelanjutan yang kerap dilanggar pemerintah, yakni kesesuaian tanah dan agroklimat, ketersediaan infrastruktur, kelayakan budidaya dan teknologi, serta aspek sosial-ekonomi masyarakat.


“Banyak lahan yang dipaksakan untuk ditanami tanpa memperhitungkan karakter tanahnya, terutama di kawasan gambut. Infrastruktur pun seringkali tidak memadai, sehingga hanya berujung pada kegagalan panen. Akibatnya, food estate lebih banyak menjadi proyek politik ketimbang solusi pangan,” ungkapnya.


Ia menilai praktik pembangunan food estate selama ini hanya mengulang kesalahan lama, termasuk dalam aspek sosial. Prof Andreas mencontohkan kasus Merauke, Papua, yang pernah digadang sebagai lumbung pangan nasional, tetapi pada kenyataannya tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat lokal maupun meningkatkan kesejahteraan petani.


Diversifikasi pangan dan reforma agraria

Sebagai jalan keluar, Prof Andreas menekankan pentingnya diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal. Namun, ia menilai program diversifikasi yang dijalankan pemerintah selama ini lebih banyak berhenti pada kegiatan seremonial tanpa hasil konkret.


“Kalau tidak ada keberanian politik dan pendanaan yang jelas, program diversifikasi pangan hanya akan menjadi jargon,” katanya.


Selain itu, ia menegaskan perlunya reforma agraria agar akses masyarakat terhadap lahan semakin kuat. Dengan begitu, produksi pangan dapat lebih mandiri dan tidak terjebak pada dominasi impor.


“Pangan harus kembali pada subjeknya, yakni petani dan masyarakat lokal. Selama itu tidak dilakukan, Indonesia akan terus berada dalam bayang-bayang krisis pangan akibat ketergantungan impor,” pungkasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang