Pakar: RUU Kementerian Negara Jadi Upaya Akomodasi Kekuasaan kepada KIM Plus
Selasa, 17 September 2024 | 21:30 WIB
Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) pada Pilpres 2024 lalu. (Foto: NU Online/Amar)
Jakarta, NU Online
Pakar Ilmu Hukum Tata Negara (HTN) dari Universitas Negeri Lampung (Unila) Prof Rudy Lukman menyebut bahwa perubahan pada Pasal 15 Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang mengatur batasan jumlah kementerian menjadi sesuai kebutuhan Presiden adalah upaya untuk mengakomodasi kekuasaan.
"(RUU itu) upaya (untuk) akomodasi kekuasaan kepada KIM (Koalisi Indonesia Maju) Plus yang semakin gemuk," katanya saat dihubungi NU Online, Selasa (17/9/2024) siang.
Prof Rudy menilai, kewenangan secara langsung oleh Presiden Terpilih 2024 Prabowo Subianto untuk menentukan jumlah kementerian itu bukanlah untuk mengoreksi kebijakan dari Presiden Joko Widodo, melainkan untuk memperlebar kewenangan Presiden atas jumlah kementerian.
"Menurut saya hal ini bukan sebuah koreksi namun upaya untuk melebarkan kewenangan Presiden untuk fleksibilitas pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian," jelasnya.
Meski begitu, Prof Rudy menjelaskan bahwa secara aturan perubahan jumlah kementerian adalah tindakan yang konsitusional, sehingga DPR dan pemerintah dapat membahas RUU tersebut meski tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 ataupun daftar 43 RUU yang pembahasannya diprioritaskan selesai sebelum Pelantikan pemerintah baru pada 20 Oktober 2024 mendatang.
"Secara konstitusional; pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian memang diberikan dalam bentuk kebijakan terbuka untuk diatur dalam UU, termasuk di dalamnya soal jumlah. Jadi hal ini merupakan hal yang konstitusional," jelasnya.
Merevisi pasal 10, 6A, dan 9A
Selain merevisi pasal 15 yang membatasi jumlah kementerian paling banyak 34, dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) juga akan menghapus penjelasan pasal 10 yang menegaskan bahwa wakil menteri adalah “Pejabat karier dan bukan anggota kabinet.”
Selain itu, Baleg dan pemerintah sepakat menambah dua pasal baru yaitu pasal 6A yang berisi dapat mengizinkan pembentukan kementerian tersendiri berdasarkan sub-urusan pemerintahan atau perincian urusan pemerintahan; dan pasal 9A yang memungkinkan Presiden mengubah unsur organisasi kementerian “sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan”.
Diketahui bahwa pasal 9 telah mengatur bahwa susunan organisasi kementerian terdiri atas beberapa unsur, termasuk menteri, sekretariat jenderal, direktorat jenderal, dan inspektorat jenderal.