Prabowo-Gibran Rangkul Lawan Politik, Bagaimana Potensi Kekuatan Oposisi?
Senin, 29 April 2024 | 12:00 WIB
Presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka saat hadir dalam kegiatan halal bihalal di halaman gedung PBNU Jalan Kramat Raya Jakarta, Ahad (28/4/2024). (Foto: NU Online/Saiful Amar)
Aru Lego Triono
Penulis
Jakarta, NU Online
Pilpres 2024 sudah selesai. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sudah ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2024-2029. Meski sempat diwarnai pelanggaran etik, Prabowo-Gibran tetap akan dilantik pada 20 Oktober 2024. Berdasarkan putusan MK pada 22 April 2024 yang menolak seluruhnya gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Menurut perhitungan Litbang Kompas, ada empat parpol pengusung Prabowo-Gibran dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang berhasil lolos ambang batas parlemen, yaitu Partai Golkar (102 kursi), Gerindra (86 kursi), PAN (48 kursi), dan Demokrat (44 kursi). Ditambah dukungan dua parpol bekas lawan di Pilpres 2024, yakni PKB (68 kursi) dan Partai Nasdem (69 kursi).
Jumlah dukungan parpol di parlemen tersebut, menurut Litbang Kompas, membuat pemerintahan Prabowo-Gibran didukung sekitar 70 persen kekuatan di parlemen.
Peneliti Kepemiluan dan Demokrasi, Titi Anggraini mengatakan, proses putusan MK yang akhirnya memenangkan Prabowo-Gibran harus dihormati, karena putusan tersebut mengukuhkan keabsahan paslon 02 sebagai presiden dan wakil presiden RI terpilih.
Meski menerima putusan MK sebagai sebuah keabsahan terpilihnya Prabowo-Gibran, Titi mengingatkan bahwa tidak boleh mengabaikan berbagai persoalan yang terjadi di Pemilu 2024. Baik menyangkut penyelenggara maupun penyelenggaraannya.
Tujuannya, kata dia, untuk perbaikan penyelenggaraan pemilu ke depan. Termasuk oleh kepemimpinan Prabowo dan Gibran di dalam memastikan demokrasi tetap berjalan dengan baik, sehingga diperlukan juga adanya kekuatan oposisi sebagai kontrol dari pemerintahan baru.
Menurut Titi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebaiknya tidak hanya menjadi stempel dan paduan suara yang tidak pernah mengkritik kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran. Jika itu terjadi, maka pemerintahan dikhawatirkan akan berbuat sewenang-wenang.
“Kalau saya sih berharap, harus tetap ada kekuatan kontrol dari parlemen sehingga parlemen bisa berfungsi sebagai bagian dari kekuatan penyeimbang agar tidak sekadar menjadi stempel atau paduan suara bagi eksekutif,” ucap Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu kepada NU Online, Sabtu (27/4/2024) di Jakarta.
“Karena kalau semua menjadi bagian dari pemerintahan Prabowo-Gibran, hal itu bisa membuat eksekutif rentan tergelincir menjadi sewenang-wenang. Mestinya partai politik pendukung paslon 01 dan 03 tetap ada yang memilih jalan demokrasi untuk menjadi kekuatan kontrol di parlemen dan tidak seharusnya menjadi bagian dari politik akomodatifnya Prabowo-Gibran,” lanjut Titi.
Prabowo-Gibran merangkul lawan di pilpres
Deputi V Kantor Staf Kepresidenan Rumadi Ahmad mengatakan bahwa ada tendensi umum presiden terpilih yang ingin membuat situasi politik menjadi stabil, sehingga berbagai kebijakan yang akan diambil dapat didukung oleh DPR.
Hal itulah yang kini sedang dilakukan Prabowo. Usai ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2024, Prabowo melakukan safari politik ke sejumlah partai dan tokoh politik. Bahkan, Prabowo berkunjung ke Kantor Partai Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menjadi lawan politiknya di Pilpres.
“Salah satu yang dia lakukan itu kan pasti mengonsolidasi mengonsolidasi kekuatan politik di DPR, mungkin salah satu cara yang dia lakukan dengan merangkul partai politik, bukan hanya partai yang menjadi pendukungnya tetapi juga partai politik yang menjadi lawannya. Nanti kalau kita melihat arahnya kan itu sebenarnya presiden selalu ingin agar pemerintahannya itu stabil dan kebijakan-kebijakan yang diambil itu tidak dihadang di DPR,” ucap Rumadi.
Menurutnya, politik rangkul yang dilakukan Prabowo saat ini merupakan sebuah proses politik yang biasa-biasa saja. Hal ini bisa dilihat setiap lima tahun sesaat setelah Pilpres usai.
“Ini sih sebenarnya proses politik yang wajar, biasa-biasa saja, tidak ada sesuatu yang luar biasa. Setiap lima tahun pasti kita akan melihat reposisi politik, kemudian ada dinamika, tapi nanti di ujungnya pasti ada konsolidasi untuk membangun pemerintahan yang stabil, tidak diganggu oleh dinamika-dinamika politik yang perlu,” katanya.
Meski begitu, Rumadi menegaskan bahwa oposisi tetap perlu dan harus ada agar pemerintah memiliki kontrol yang kuat. Ia berharap, ada kekuatan partai politik yang mampu mengontrol jalannya pemerintah.
“Memang harus ada oposisi supaya pemerintahan itu ada kontrol yang kuat, tidak semuanya masuk dalam pemerintahan, tapi harus ada kekuatan-kekuatan partai yang mengontrol kebijakan pemerintah. Jangan semua partai politik itu selalu mengiyakan apa yang diagendakan pemerintah, karena itu juga bisa menjadi sesuatu yang justru menjadikan demokrasi kurang berkualitas, karena tidak ada kontrol yang kuat dari parlemen,” pungkas Rumadi.
Pemilu 2024 berjalan lancar
Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa proses Pemilu, termasuk Pilpres 2024 sudah berlangsung dengan lancar. Partisipasi pemilih juga meningkat secara signifikan jika dibandingkan Pemilu 2019. Berbagai dinamika yang terjadi selama Pilpres, menurut Hasyim, adalah proses yang wajar dalam negara demokrasi.
“Kami, KPU, bekerja sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Semua proses Pilpres 2024 telah berlangsung dengan mematuhi perundang-undangan yang ada. Kalaupun ada hiruk-pikuk yang terjadi, itu bagi saya hal yang wajar dalam demokrasi,” ungkap Hasyim melalui sambungan telepon kepada NU Online, Sabtu (27/4/2024) di Jakarta.
Meski Pilpres 2024 sudah usai dan pemenang sudah ditetapkan, tetapi masih saja ada sebagian kelompok masyarakat yang menganggap proses Pilpres ini tidak memiliki legitimasi lantaran berkali-kali melanggar etik. Menanggapi itu, Hasyim mengatakan bahwa kontestasi politik adalah soal menang-kalah.
“Setiap kontestasi politik itu kan hanya soal menang-kalah, dan pemenangnya juga sudah ditentukan. Kalau ada anggapan Pilpres tidak legitimate itu wajar saja, sebagai ungkapan dari pihak yang kalah,” ucapnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua