Bandung, NU Online
Penulis dan peneliti muda NU Iip D. Yahya mengamati banyak tokoh kiai yang belum dituliskan biografinya. Padahal banyak kiai yang sudah berjasa mengaswajakan masyarakat Sunda sebelum berdirinya Nahdlatul Ulama (NU).
“Banyak hal yang bisa dipelajari, uangnya dari mana, bagaimana mendidik santrinya, hingga kiprahnya di masyarakat,” paparnya di hadapan para penulis NU Jabar yang diselenggarakan oleh NU Online, Ahad (14/1).
Pria yang akrab disapa Kang Iip itu memberikan tips menulis biografi kiai dimulai dari mengecek apa saja yang sudah ditanyakan, lalu menyiapkan pertanyaan yang belum ditanyakan oleh para wartawan.
“Jika kiainya sudah meninggal, bisa menanyakan orang-orang terdekat, lalu mengkonfirmasi riwayat cerita tersebut dari kiai langsung atau dari orang lain,” sambungnya.
Kang Iip melanjutkan bahwa tulisan biografi itu berbasis data, semakin banyak data semakin baik tulisannya. Data bisa didapat dari googling dan wawancara. Selain itu, tips objektif bisa dimulai dengan menulis biografi yang bukan kiainya sendiri.
"Jadi tidak ada beban psikologis karena datang sebagai wartawan," ujar penulis buku Biografi Ajengan Cipasung, KH Ilyas Ruhiat, menanggapi pertanyaan salah satu peserta.
Lebih lanjut, salah satu kunci menulis biografi adalah membaca berita tentang kiai yang hendak ditulis atau meriset terlebih dahulu tulisan tentang kiai tersebut. Lalu dapat mengecek di Google. Kalau belum ada di Google, itu kan menjadi kesempatan bagus pagi para penulis NU.
“Di Jawa Barat misalnya, banyak pesantren yang mempunyai karakteristik keunggulan kitab-kitab yang diajarkan. Itu menarik kalau ditulis sejarahnya. Atau misalnya tradisi ngalogat atau maknani,” lanjutnya.
Ia sendiri mengaku sebagai orang pertama yang menuliskan tentang tradisi penerjemahan bahasa Arab ke bahasa Sunda ala kitab kuning.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Direktur NU Online Syaifullah Amin menambahkan penulisan tokoh kiai pesantren yang bergaya jurnalistik pada prinsipnya tidak boleh menuliskan aib atau kejelekannya seorang tokoh, yang ditulis tidak mengarang, tapi yang penting ada tulisannya
“Menulis di NU Online pada dasarnya wahana jurnalistik, bukan tulisan seketat tulisan ilmiah. Ketiadaan narasumber jangan sampai menghalangi niat untuk menulis biografi kiai. Tapi jangan sampai ngarang. Seandainya nanti ada kekeliruan, biasanya akan dikonfirmasi oleh pihak terkait, seperti keluarga atau keturunan kiai,” pinta Amin. (M. Zidni Nafi’/Abdullah Alawi)