PBNU Pertanyakan Pemerintah Terkait Prioritas Penerima Vaksin Covid-19
Rabu, 9 Desember 2020 | 07:00 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bidang kesehatan dr Syahrizal Syarif mempertanyakan dasar pertimbangan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI terkait penetapan prioritas penerima vaksi Covid-19. Ahli epidemologi UI ini menyatakan gagal paham dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan orang dengan usia 18-59 tahun sebagai warga prioritas penerima vaksin.
Demikian disampaikan Ketua PBNU bidang kesehatan Syahrizal Syarif di Jakarta ketika menanggapi masuknya 1,2 juta dosis vaksin ke Indonesia pada Ahad (6/12) malam.
"Seharusnya pemerintah memprioritaskan orang-orang dengan risiko tinggi di tengah keterbatasan jumlah dosis vaksin. Sedangkan, usia orang 18-59 tahun yang uji klinis di Bandung itu tidak dapat menjadi dasar acuan untuk menentukan prioritas penerima vaksin," ujar Syahrizal, Senin (7/12) lalu.
Ia mengatakan, Kemenkes dan Biofarma beralasan bahwa mereka yang uji klinis di Bandung itu orang dengan usia 18-59 tahun. Tetapi semua ahli seperti ahli virologi, mikrobiologi, dan ahli vaksin mengerti bahwa uji klinis itu sudah benar sebagai dasar etika dan dasar epidemologi mengujikan vaksin pada orang sehat.
Ia mengakui bahwa memang ada kontraindikasi seperti mengujikan vaksin pada ibu hamil, mereka yang sedang sakit berat apapun, dan ketiga mereka yang alergi ketika disuntikkan vaksin.
“Tetapi itu tidak bisa menjadi dasar penetapan usia penerima vaksin seolah ada kontraindikasi. Padahal vaksin itu bisa digunakan untuk semua umur,” kata dokter Syahrizal.
Oleh karena itu, WHO dan CDC, ia melanjutkan, menyarankan pemberian vaksin ditujukan pada warga yang high risk, berisiko tinggi. Siapa kelompok high risk? Tentu nomor satu adalah tenaga kesehatan yang menangani pasien.
Kedua, mereka yang terkena Covid-19 akan mengalami gejala yang serius, berat, bahkan meninggal. Siapa mereka? Mereka adalah orang yang memiliki penyakit penyerta dan mereka yang berusia lanjut.
Ia menambahkan, vaksin tidak turun serentak. Sedangkan wabah akan mereda ketika sebanyak 64% masyarakat diberikan vaksin. Oleh karena itu, di tengah keterbatasan vaksin, WHO dan CDC menganjurkan agar vaksin yang sudah tersedia diberikan kepada pertama lansia setidaknya di atas 65 tahun selain tenaga kesehatan; kedua orang yang mempunyai penyakit penyerta seperti diabet, jantung, hipertensi, gangguan ginjal.
Ia mencontohkan pemberian vaksin di Inggris yang diprioritaskan kepada lansia usia 80 tahun, baru kemudian turun berjenjang pada usia 75 tahun, 70 tahun.
“Tidak ada skema pemberian vaksin pada usia 18-59 tahun. Untuk orang dengan usia 18-59 tahun, vaksin itu bukan prioritas. Kalau dari mereka memiliki penyakit penyerta, maka mereka menjadi prioritas,” kata dokter Syahrizal.
Ia mengatakan, mengapa alasan ahli kesehatan dunia menganjurkan lansia dan kelompok komorbid itu didahulukan?
“Kita lihat bahkan di Indonesia, mereka yang meninggal pada usia 45 tahun ke atas mencapai sebanyak 70%. Kenapa? Ada dua alasan mereka meninggal; pertama karena mereka memiliki penyakit penyerta; dan kedua karena usia,” kata dokter Syahrizal.
Ini yang yang menjadi pertanyaannya kepada pemerintah, Kemenkes. Kenapa kita memiliki skema dasar prioritas yang tidak sesuai sasaran baik yang gratis 30% maupun yang mandiri 70%. Kemenkes biasanya selalu mengacu ke WHO dan CDC. Tapi dalam pemberian prioritas vaksin ini, Kemenkes berbeda. Ia mempertanyakan dasar ketentuan prioritasnya.
Pewarta: Alhafiz Kurniawan
Editor: Fathoni Ahmad