Nasional

Pemborosan Anggaran Negara Akibat Gemuknya Kabinet Dapat Lukai Masyarakat

Selasa, 22 Oktober 2024 | 08:30 WIB

Pemborosan Anggaran Negara Akibat Gemuknya Kabinet Dapat Lukai Masyarakat

Presiden Prabowo Subianto berpose dengan 53 menterinya di tangga Istana Negara Jakarta, Senin (21/10/2024). (Foto: setkab.go.id)

Jakarta, NU Online

Meningkatnya jumlah menteri dan wakil menteri sebanyak 109 orang dalam Kabinet Merah Putih yang diangkat Presiden Prabowo Subianto diperkirakan membuat anggaran negara semakin membengkak. Hal ini disebabkan tambahan biaya untuk fasilitas, staf, dan operasional baru bagi mereka. Psikolog Sosial Any Rufaedah menilai anggaran yang boros dapat melukai masyarakat. 


“Anggaran yang sangat boros itu sebetulnya sangat melukai masyarakat karena begini, Indonesia itu bukan negara dengan ekonomi yang baik. Secara ekonomi, itu tidak settle gitu kan ya. Misalnya masyarakat Jakarta dengan UMR 5 juta, namun untuk kehidupan kan nyatanya nggak cukup ya,” ujar Any saat dihubungi NU Online, Senin (21/10/2024). 


Any menguraikan teori Abraham Maslow bahwa perekonomian merupakan penunjang kebutuhan fisiologis. Sebab, jika kebutuhan tersebut tidak tercukupi maka kebutuhan lain pun tidak bisa terealisasi. 


“Di Teori Abraham Maslow perekonomian merupakan kebutuhan dasar fisiologis. Misal kita gak makan, maka kemudian kita gak bisa mikir, gak bisa ngomongin soal akademisi, gak bisa mikir soal capaian dan sebagainya,” paparnya. 


Kemudian, Any mengaitkan kebutuhan fisiologis tersebut dengan kabinet yang semakin menggemuk, apakah dengan gemuknya kabinet dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat atau tidak. 


“Bisa nggak kabinet yang gemuk ini berpengaruh pada kemakmuran masyarakat, misal indikator yang paling kuat adalah UMR nya bisa naik nggak? Kemudian masyarakat-masyarakatnya semakin terampil enggak? Kemudian bagaimana daya beli masyarakat? kemudian ada jaminan yang bisa membuat masyarakat tidak cemas mengenai pensiun tidak?,” tegasnya. 


Any juga menjelaskan bahwa kondisi masyarakat Indonesia sudah lama tidak percaya pada pemerintah karena sering mendapat banyak kekecewaan. 


“Kondisi masyarakat Indonesia itu udah lama kan ya, tidak terlalu percaya, tidak terlalu memberi harapan. Mereka tidak berani terlalu memberi harapan kepada pemerintahannya, karena banyak kekecewaan. Kemajuan-kemajuan yang dirasakan juga tidak begitu terasa, utamanya di ekonomi. Kalau kita lihat dari UMR saja, dari dulu tidak ada kenaikan yang signifikan. Tapi kebutuhan mendasarnya justru terus naik lebih besar,” jelas Dosen Psikologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia itu. 


Ia menjelaskan bahwa kekecewaan masyarakat merupakan bentuk ketidakberanian masyarakat dalam memberi harapan dan salah satu contohnya adalah banyak orang yang memilih untuk pergi ke luar negeri untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. 


“Jadi, sebetulnya kekecewaan masyarakat dan ketidakberanian untuk memberi harapan atau keputusasaan untuk memberikan harapan itu sudah lama terjadi. Salah satu indikatornya yang muncul itu adalah banyaknya orang yang memilih ke luar negeri untuk kehidupan yang lebih baik,” ungkapnya. 


Untuk mengatasi keresahan dan kecemasan masyarakat, Any menjelaskan pemerintah harus membuktikan kinerjanya guna memberikan harapan-harapan baru bagi masyarakat. 


“Harus berbasis bukti. Harapan itu tadi seperti yang saya bilang, sekarang masyarakat masih lihat-lihat nih, gitu ya kan, ada harapan baru, ada leader baru. Sekarang kayaknya harapan itu muncul gitu Harapan ini harus terus beriringan dengan bukti kinerjanya,” jelasnya. 


“Harapan itu tadi ya, yang akan memberikan lebih banyak kantong-kantong ekonomi yang bisa mendongkrak perekonomian negara,” tambahnya.