Penerapan Ekoteologi di Masjid: Langkah Nyata Cegah Bencana Akibat Kerusakan Lingkungan
Selasa, 7 Oktober 2025 | 22:00 WIB
Arsad Hidayat, Direktur Urais Bisyar Ditjen Bimas Islam Kemenag, saat ditemui di Auditorium Gedung Kemenag, Jl MH Thamrin Nomor 6, Jakarta Pusat, pada Selasa (7/10/2025). (Foto: NU Online/Jannah)
Jakarta, NU Online
Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais dan Binsyar) Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Arsad Hidayat, menekankan pentingnya penerapan ekoteologi di masjid sebagai langkah nyata dalam mencegah bencana yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan.
Menurutnya, bencana alam banjir, longsor, kebakaran hutan, kekeringan, pemanasan global, dan pencemaran lingkungan telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang jauh lebih besar dibandingkan akibat peperangan.
“Bencana yang diakibatkan karena kerusakan lingkungan itu angkanya lebih fantastis. Sekarang kita menganggap bahwa perang itu bukan satu-satunya yang menyebabkan korban tetapi juga kerusakan yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan,” ujar Arsad saat ditemui NU Online di Auditorium Gedung Kemenag, Jl MH Thamrin Nomor 6, Jakarta Pusat, pada Selasa (7/10/2025).
“Itu menjadi concern dan kesadaran kita bersama, baik di masyarakat secara umum bahkan di kalangan masjid. kita mencoba melakukan koneksi antara manusia dengan Tuhan dan alam,” lanjutnya.
Ia menjelaskan bahwa penguatan ekoteologi menjadi salah satu program prioritas Kemenag yang dijadikan landasan dalam pelaksanaan berbagai kegiatan. Dalam implementasinya di masjid, langkah awal dilakukan melalui program penanaman pohon di sejumlah masjid, terutama masjid di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) dengan pendampingan Lembaga Takmir Masjid (LTM) PBNU.
Selain penanaman pohon, sejumlah kegiatan juga digalakkan, antara lain bersih-bersih masjid dan mushola, berbagi informasi dan pengetahuan tentang ekoteologi kepada marbot, serta melibatkan generasi muda dalam kampanye peduli lingkungan.
“Ada masjid yang menanam pohon, ada yang sudah menggunakan panel surya seperti Masjid Istiqlal, ada yang menerapkan pengolahan sampah menjadi barang bermanfaat, hingga memanfaatkan air bekas wudhu untuk menyiram tanaman,” ujar Arsad.
Informasi mengenai ekoteologi juga disebarluaskan melalui berbagai media, termasuk pengajian, khutbah, dan media sosial agar jamaah semakin memahami pentingnya peran masjid dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Beberapa masjid telah menjadi contoh penerapan konsep ini, salah satunya Masjid Attaqwa Sunter Muara, Jakarta Timur yang mengembangkan pertanian kota (urban farming) dengan sistem hidroponik. Hasil panennya bahkan dibagikan secara gratis kepada jamaah dan masyarakat sekitar.
Ia berharap penerapan ekoteologi di masjid-masjid dapat menjadi gerakan kolektif dalam menjaga lingkungan hidup.
“Masjid memiliki peran penting dalam upaya melestarikan lingkungan. Lingkungan bukan hanya milik orang yang hidup saat ini, tetapi juga untuk generasi mendatang. Konsep Madada atau Masjid Berdaya dan Berdampak sangat relevan dalam menjawab isu-isu lingkungan yang kita hadapi,” ujar Arsad.
Arsad juga mengajak para dai, marbot, dan takmir masjid untuk menerapkan konsep ekoteologi di lingkungannya masing-masing, tidak hanya melalui ceramah dan edukasi, tetapi juga dalam bentuk aksi nyata seperti penanaman pohon di lingkungan masjid.