Nasional

Perlu Penguatan BPKH dalam Menata Ulang Pengelolaan Keuangan Haji melalui Revisi UU 34/2014

Rabu, 17 September 2025 | 22:30 WIB

Perlu Penguatan BPKH dalam Menata Ulang Pengelolaan Keuangan Haji melalui Revisi UU 34/2014

Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

 

Jamaah haji Indonesia mendapatkan subsidi biaya haji yang cukup besar, antara Rp33 juta hingga Rp37 juta. Padahal nilai manfaat yang diperoleh dalam setiap tahunnya hanya Rp400 ribu hingga Rp600 ribu per tahun. Hal demikian menimbulkan gejolak dalam tata kelola keuangan haji.

 

Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj menegaskan perlunya revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014. Dalam hal ini, menurutnya, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) tidak bisa disalahkan begitu saja mengingat tata aturan dalam UU tersebut yang perlu diubah.

 

"BPKH juga tidak bisa disalahkan. Nah saya sering, saya tidak mau mengkambinghitamkan BPKH, tapi ini adalah sistem yang harus diperbaiki," katanya kepada NU Online pada Selasa (16/9/2025).

 

"Apa solusinya? Revisi undang-undang 34. Ya saya mendukung ini," lanjut dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

 

Mustolih menjelaskan bahwa uang setoran awal jamaah haji reguler senilai Rp25 juta dan 4.000 Dolar untuk jamaah haji khusus. Per hari ini, dana yang dikelola BPKH berjumlah Rp170 triliun.

 

"Nah oleh BPKH, lembaga yang lahir oleh Undang-Undang Nomor 34 tahun 2014, itu kemudian dikelola, dulu kan di Kementerian Agama, dia yang nerima rekeningnya kemudian dikelola dan boleh diinvestasikan. Hasilnya memang kalau kita lihat rata-rata 3-4 tahun belakangan itu ratenya kurang lebih 8-11 triliun per tahun," katanya.

 

Ia menegaskan bahwa nilai pokok yang berjumlah 170 triliun tersebut tidak boleh digunakan untuk apapun. Sementara nilai manfaat terbagi menjadi dua, yakni subsidi jamaah yang berangkat pada tahun berjalan dan sisanya didistribusikan kepada jamaah haji tunggu melalui akun virtual.

 

Jika subsidi per orang antara 33 sampai dengan 37 juta Rupiah, sedangkan jamaah tunggu yang berjumlah 5,4 juta itu cuma dibagi 400 sampai 600 ribu per tahun, ini sebetulnya perlu dikoreksi. "Kenapa? Perbedaan antara nilai manfaat yang diterima oleh jamaah haji yang berangkat pada tahun berjalan dengan yang nunggu itu jauh sekali," katanya.

 

 

Mustolih menegaskan bahwa nilai manfaat dalam hal ini belum diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun 2019 maupun undang-undang 34 tahun 2014. Selama ini, hal tersebut ditetapkan secara dinamis dalam konteks politis di Komisi 8 DPR RI.

 

"Yang dikhawatirkan itu adalah hari ini orang yang sudah berangkat, sudah haji kemarin-kemarin itu kan subsidinya besar sekali kan? Nah pertanyaannya adalah bagaimana dengan orang-orang yang 5 tahun lagi akan berangkat, 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun yang akan berangkat, yang berangkatnya nanti 30 tahun lagi, apakah mendapatkan pembagian yang sama? Mendapatkan subsidi yang sama?" katanya.

 

Belum lagi ada inflasi, depresiasi Dolar terhadap Rupiah, harga aftur yang naik, hingga soal dinamika pajak di Arab Saudi. Hal tersebut, menurutnya, akan mempengaruhi biaya haji. 

 

Mustolih menyebut sebetulnya dua hingga tiga tahun belakangan itu ada wacana untuk melakukan rasionalisasi biaya haji. Hal ini dilakukan melalui subsidi jamaah haji yang berangkat itu tidak lagi terlalu tinggi. Karenanya, sempat ada pergeseran pembagian 70 persen dibayar jamaah dan 30 persen dibayar oleh nilai manfaat. Kemudian dalam perjalanannya, bergeser ke 60-40 hingga 55-45. Artinya, subsidi kembali besar.

 

Hal ini terjadi, katanya, karena tidak ada acuan penentuan jumlah maksimal subsidi. Dalam rapat bersama komisi 8 mengenai RUU haji, Mustolih menyampaikan bahwa harus ada batasan maksimal, berapa sih nilai manfaat yang disubsidikan kepada jamaah haji yang berangkat.

 

"Karena kalau misalnya keputusannya selalu politis, setiap tahun nih, setiap mau penyelenggaraan ibadah haji, itu akan berbahaya bagi keuangan. Sustainability daripada keberlanjutan daripada BPKH itu," katanya.

 

Oleh karena itu, Mustolih mendukung BPKH untuk menata ulang dan membuat acuan dan norma-norma terkait berapa maksimal yang bisa diberikan kepada jamaah haji yang berangkat. Menurutnya, hal tersebut menjadi bagian utama. Hanya saja sayangnya, hal tersebut memang sangat politis dan seperti buah simalakama.

 

"Kalau subsidinya itu dikurangi, maka biaya jamaah haji yang pelunasannya itu mahal. Tinggi dia. Di sisi lain ya, jamaah haji yang tunggu akan kecil," katanya.

 

Meskipun demikian, ia mendorong BPKH dapat mengikuti apa yang dilakukan oleh Malaysia, yakni subsidi yang disesuaikan dengan kondisi jamaah masing-masing. Hal ini mengingat subsidi yang diberikan kepada jamaah haji disamaratakan.

 

 

"Dipukul rata maksudnya apa? Yang mampu, yang tidak mampu, yang setengah mampu, itu sama. Nah harusnya untuk yang berangkat ini harus ada verifikasi nih. Misalnya yang PNS dengan pegawai BUMN, dengan yang guru, guru madrasah harus dibedakan. Itu mesti dibedakan. Tapi ini butuh waktu memang," katanya.

 

"Sehingga kemudian kalau di Malaysia itu ada tiga. Ada yang subsidi yang sangat kecil, yaitu mereka yang mampu kategorinya. Ada yang sedang, yang penghasilannya rata-rata lah. Dan yang diberikan subsidi besar itu mereka-mereka yang istilahnya di atas garis kemiskinan. Kalau garisnya itu runtuh, dia juga jatuh. Nah kira-kira seperti itu," pungkasnya.