Nasional

Pilkada Serentak 2024: Aksi Peringatan Darurat, Fenomena Kotak Kosong dan Tingginya Golput 

Ahad, 22 Desember 2024 | 08:30 WIB

Pilkada Serentak 2024: Aksi Peringatan Darurat, Fenomena Kotak Kosong dan Tingginya Golput 

Masyarakat menggunakan hak pilihnya pada Pilkada 2024. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online 
Perbincangan mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 menjadi salah satu peristiwa politik yang banyak disorot publik. Pilkada kali ini tak hanya menjadi terbesar dalam sejarah namun diwarnai berbagai polemik mulai dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia calon kepala daerah, ambang batas parlemen yang berakhir aksi ‘peringatan darurat’ oleh warga sipil.

 

Mulanya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perubahan dalam Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah atau UU Pilkada Serentak 2024. Intinya, terdapat penyesuaian ambang batas parlemen alias parliamentary thershold untuk kandidat calon kepala daerah. Putusan MK soal penurunan parliamentary threshold itu langsung mengubah roda politik. Sejumlah partai pada akhirnya bisa mengusung calonnya sendiri di Pilkada.

 

DPR RI lantas secepat kilat membahas ulang UU tersebut lewat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI lantas secepat kilat membahas ulang UU tersebut lewat Badan Legislasi (Baleg). Terdapat berbagai pernyataan yang mengatakan legislator tak ingin mengikuti putusan MK itu. 

 

"Kita minta persetujuan dulu. Apakah hasil pembahasan RUU tentang perubahan keempat atas UU nomor 1 tahun 2015 tentang Penatapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur/Bupati/Wali Kota menjadi UU dapat diperoses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-perundangan?" kata Wakil Ketua Baleg DPR RI, Achmad Baidowi atau Awiek dijawab "Setuju" mayoritas anggota. 

 

Ada sejumlah perubahan dalam RUU Pilkada ini. Terutama yang mencolok yakni aturan soal syarat batas minimal usia calon kepala daerah jadi mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA). 

 

Kedua, perubahan pada pasal 40 usai adanya putusan MK namun menjadi sorotan dalam pasal itu kini kelonggaran ambang batas pencalonan Pilkada hanya untuk parpol non parlemen.

 

Banyak pihak yang mengaitkan DPR yang mayoritas didominasi Koalisi Indonesia Maju (KIM) ingin memuluskan jalan Kaesang Pangarep, putra Presiden ke-7 Joko Widodo untuk maju Pilgub dan dinilai bentuk pembungkaman demokrasi lantaran menutup jalan bagi para calon kepala daerah yang tak memenuhi parliamentary threshold.

 

Aksi di depan Gedung DPR RI itu menjadi paling besar diikuti oleh elemen buruh, mahasiswa, aktivis,  artis, hingga ojol. Aksi massa ini berhasil mendesak DPR. DPR akhirnya memutuskan tidak melanjutkan rencana pengesahan UU Pilkada. 


Pemilihan Kepala Daerah berlangsung pada 27 November 2024, yang diikuti oleh calon gubernur di 37 provinsi dan 508 Bupati/Wali Kota sebanyak 605 kandidat atau 19,5 persen kandidat Pilkada 2024 terindikasi berasal dari politik dinasti. Hal ini berdasarkan pada penelitian tiga Lembaga PolGov Fisipol UGM, Election Corner Fisipol UGM, dan IFAR Unika Atma Jaya.


Pilkada 2024 diwarnai kejadian tak terduga misalnya fenomena kotak kosong yang menang melawan calon tunggal seperti yang terjadi di Pangkal Pinang dan Kabupaten Bangka Kepulauan Bangka Belitung, dan Gresik Jawa Timur. Meski enam daerah lainnya menang, melawan kotak kosong. Di antaranya, Kabupaten Sukoharjo, Banyumas, Brebes, Surabaya, Kota Tarakan, dan Papua Barat.

 

Angka Golput juga tinggi dalam perhelatan Pilkada 2024 lebih dari 30 persen atau lebih banyak dari angka golput pada Pileg dan Pilpres 2024. Pantauan jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) terdapat sejumlah daerah dengan partisipasi pemilih yang rendah dalam Pilkada 2024 seperti di Tambora, Jakarta Barat, Bandung, Jawa Barat pemilih yang menggunakan suaranya kurang dari 50 persen. 


Tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 di Sumatera Barat juga relatif rendah dibandingkan dengan Pilpres 2024. Faktor utama rendahnya partisipasi publik yakni penyelenggaraan Pilkada 2024 yang berdekatan dengan Pemilu 2024 durasi kampanye kandidat pilkada yang singkat, dan rendahnya pengenalan pasangan calon kepala daerah kepada masyarakat.