Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU OnlineÂ
Biaya yang dinilai besar bukanlah masalah utama dalam Pilkada. Sebab, peralihan Pilkada tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), justru berpotensi menggerus esensi demokrasi.
Hal itu disampaikan pakar Hukum Tata Negara (HTN) dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti pada Selasa (17/12/2024).
Menurut Bivitri, dalam mengukur demokrasi, ukuran yang lebih penting bukanlah sekadar biaya, tetapi dampaknya terhadap suara rakyat. Karenanya, ia menggarisbawahi bahwa pembiayaan dalam berdemokrasi tak dapat dihitung seperti pengeluaran pada rumah tangga semata.
"Dalam mengukur kegiatan demokrasi dan ketatanegaraan ukurannya tidak bisa hanya seperti mengukur pengeluaran rumah tangga tapi harus dilihat esensinya, demokrasi esensinya adalah suara kita, rakyat jelata kalau kata seorang pejabat," katanya.
Bivitri menekankan bahwa meskipun biaya Pilkada bisa menjadi beban, pemilihan langsung oleh rakyat adalah sarana penting untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan memastikan transparansi.Â
"Karena mahal dan tidak mahal itu kan relatif. Jadi ukurannya jangan hanya kayak daftar belanja, tapi dampaknya apa kepada warga," kata perempuan yang menamatkan studi master hukumnya di Universitas Warwick, Inggris itu.
"Kalau kita menggunakan mekanisme pemilihan kepala daerah langsung, suara rakyat jelata ini sebenernya masih bisa jadi cara untuk mengawasi jalannya demokrasi," lanjutnya.
Bivitri menyatakan bahwa jika masalahnya uang yang bermain itu berarti permasalahnnya ada di partai politik dan politikus. Karenanya, hal itulah yang perlu dibenahi. Jika sekadar dipindahkan ke DPRD, menurutnya hanya akan memindahkan masalah tanpa ada penyelesaian.
"Tapi artinya, kalau bicara untung rugi, mungkin dari segi partai politik dan politikus jadinya untung karena mungkin dananya, anggarannya nggak seberapa besar kalau harus dibagi-bagikan uang ke kita. Tapi yang rugi sebenarnya kita, karena kita hanya akan bisa nonton," katanya.
Â
Menurutnya, jika Pilkada dipindahkan ke DPRD, masyarakat tidak akan lagi memiliki peran signifikan dalam memilih kepala daerah. Masyarakat pada suatu nanti hanya akan mendengar pengumuman dari DPRD suatu kabupaten tentang siapa yang terpilih.Â
"Nggak tau di baliknya mungkin ada transaksi-transaksi juga di antara mereka (Politikus) sendiri," katanya.
Bivitri mengingatkan bahwa demokrasi yang substantif tidak hanya menilai dari efisiensi atau biaya, tetapi dari bagaimana rakyat bisa berpartisipasi aktif dan mengawasi pemilihan pemimpin mereka.
"Kalau kita hanya melihat mahal atau tidaknya biaya, seakan-akan seperti menganalisis pengeluaran rumah tangga, ya memang akibatnya kita akan bilang, 'Ya sudah deh, diganti saja metodenya.' Nah, padahal ukuran dari sebuah demokrasi jangan sekadar efisiensi, tetapi juga makna dari demokrasi yang substantif, seperti apa," terangnya.
Terpopuler
1
Gus Yahya Sebut 3 Ketua Umum PBNU Alumni Krapyak
2
Kabar Duka: KH Imam Haramain Pengasuh Pondok Denanyar Jombang Wafat
3
Pencabutan TAP MPR Tentang Pemakzulan Presiden Gus Dur Bawa Perbaikan Konstitusional
4
PB PMII akan Dikukuhkan pada 18 Desember 2024, Usung Tema Era Baru Menuju Indonesia Maju
5
UMP Jawa Tengah 2025 Jadi Rp2,16 Juta, Naik 6,5 Persen
6
Ribuan Santri dan Masyarakat Ikuti Ziarah Pendiri Pesantren Krapyak di Makam Dongkelan
Terkini
Lihat Semua