Rais Syuriyah PWNU Jateng: Warga Terdampak Banjir Rob Demak Butuh Solusi Nyata, Bukan Janji
Selasa, 11 November 2025 | 13:00 WIB
Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah KH Ubaidullah Shodaqoh di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Senin (10/11/2025). (Foto: NU Online)
Jakarta, NU Online
Bertahun-tahun terendam banjir rob, warga Demak kini hidup dalam kepungan air tanpa kepastian solusi yang benar-benar menyentuh kebutuhan mereka. Pemerintah memang telah menjanjikan penanganan dan solusi jangka panjang, tetapi hingga kini masyarakat masih menunggu langkah nyata.
Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah KH Ubaidullah Shodaqoh mengatakan masyarakat tidak membutuhkan janji, melainkan tindakan segera agar bisa bertahan di tengah rob yang kian menggenangi permukiman.
"Bagaimana pun saat sekarang ini masyarakat sudah tenggelam. Orang tenggelam enggak bisa dijanjkan besok, lusa bahkan setahun lagi, dua tahun lagi, tidak bisa," kata Kiai Ubaidullah ditemui NU Online di Gedung PBNU Kramat, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025).
Pemerintah, lanjutnya, tidak cukup hanya mengeluarkan janji-janji, tetapi dibutuhkan langkah nyata untuk membantu masyarakat yang saat ini sudah terpapar banjir rob.
"Masyarakat tidak punya pilihan lagi selalu dikepung oleh air. Jadi pemerintah punya solusi iya kapan itu. Jadi ada solusi penanganan saat ini sampai ada solusi bermakna," ujar Pengasuh Pondok Pesantren Al-Itqon Tlogosari Wetan Bugen, Pedurungan, Kota Semarang, Jateng.
Menurutnya, dibutuhkan solusi permanen agar rob tidak ada lagi atau masyarakat dibuatkan piranti untuk menghadapi rob, sehingga rob tidak mengganggu aktivitas keseharian masyarakat. Misalnya dengan membuat rumah apung yang bisa mengikuti tinggi rendahnya banjir rob, fasilitas perahu, dan sarana pendukung lainnya.
"Jadi, kalau rob sudah tidak bisa diatasi, barangkali untuk mencegah rob itu bagaimana masyarakat bisa akrab dengan rob tersebut dalam arti tidak mengganggu kegiatan masyarakat sehari-hari," imbuh Gus Ubaid.
Kiai Ubaidullah menambahkan, PWNU Jawa Tengah telah membuat contoh solusi sederhana melalui pembangunan madrasah apung.
"Alhamdulillah sudah 2,5 tahun ini tetap eksis dan sangat bermanfaat bagi masyarakat meskipun hasilnya baru satu dusun, memang kemampuan kami baru sampai situ," kata Gus Ubaid.
Ia menegaskan bahwa masyarakat tidak menyalahkan pemerintah, namun berharap tindakan nyata segera dilakukan.
"Kami tidak menyalahkan pemerintah tapi sudah sekian tahun kenyataan masih wacana-wacana," ujarnya.
Pemerintah saat ini tengah membangun tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall, namun masih sebatas wacana.
"Pokoknya apa yang dibutuhkan masyarakat saat ini dan itu tidak mahal," katanya.
LAZISNU bersama PWNU Jawa Tengah membuat madrasah apung berukuran 9×7 meter dengan biaya Rp150 juta. Bangunan tersebut dapat digunakan untuk anak-anak mengaji, bermain, belajar, serta kegiatan masyarakat di kampung.
"Simpel lah, simpel. Tapi terkadang kita harus menyelesaikan secara permanen. Lah kapan? Wong yang dibutuhkan sekarang," ujarnya.
Kiai Ubaidullah menilai, relokasi bukan solusi bagi warga terdampak banjir rob yang kini mayoritas telah beralih profesi menjadi nelayan.
"Dipindah juga tidak memberikan solusi. Pindah ya memang sebagian nelayan sudah 10 tahun dari petani sampai jadi nelayan, sudah akrab dengan kenelayanannya," ujar Gus Ubaid.
Ia menjelaskan, jika relokasi dilakukan, masyarakat harus membeli tanah dan membangun rumah sendiri. Meskipun biaya tanah tergolong murah, warga tetap membutuhkan dana tambahan untuk menuju laut. Selain itu, relokasi juga membutuhkan ruang daratan baru yang berpotensi mengurangi lahan pertanian dan perkebunan yang masih ada.
"Bagaimanapun banjir rob mengurangi ruang pertanian, ruang perkebunan, dan sebagainya. Pokoknya kita mohon segera diatasi. Hari ini, minggu ini, bukan besok. Kalau Great Wall sudah jadi, masyarakat sudah kadung megap-megap. Ini situasi darurat (emergency),” jelasnya.
Sebelumnya, warga Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Mung Prayono, menyebut pemerintah pernah membuat program relokasi atau bedol desa, tetapi belum berjalan efektif. Pemerintah memberikan Rp50 juta per kepala keluarga untuk pindah.
"Tapi masalahnya, masyarakat tidak semua mampu beli tanah baru. Jadi percuma juga kalau tidak bisa beli tanah," ujarnya.
Mbah Mung berharap pemerintah bisa lebih berpihak pada masyarakat kecil yang masih bertahan di Sayung dan sekitarnya.
"Kalau bisa, bantu dengan perencanaan matang, jangan setengah-setengah. Karena yang kami hadapi bukan cuma air laut, tapi juga kehidupan yang makin sulit," katanya.