Nasional

Rob di Pesisir Demak Belum Tertangani Tuntas, Rakyat Harap Pemerintah Lebih Serius

NU Online  ·  Senin, 20 Oktober 2025 | 13:00 WIB

Rob di Pesisir Demak Belum Tertangani Tuntas, Rakyat Harap Pemerintah Lebih Serius

Sejumlah permukiman rakyat di Kecamatan Sayung, Demak, Jawa Tengah terkena banjir rob. (Foto: Pemkab Demak)

Jakarta, NU Online

 

Setiap bulan, banjir rob di Jalur Pantura Demak tetap muncul. Padahal, pemerintah telah menyiapkan infrastruktur penanganan, tol sekaligus tanggul laut. Salah satu tujuan proyek ini, dipersiapkan berhasil menghalangi penyebab rob di sepanjang pesisir Semarang dan Demak.

 

Namun, kini masyarakat bertanya-tanya, belum terlihat tanda-tanda itu, dan rob ternyata masih menggenang bahkan berpindah ke lokasi lainnya.

 

Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) Demak, Lukito mengatakan belum ada langkah nyata yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Demak untuk menanggulangi banjir rob yang ada di Sayung selain  giant sea wall sebagai tanggul raksasa dan dua rumah apung untuk warga terdampak. 

 

Ia berharap pemerintah benar-benar memikirkan penanganan rob dengan serius dan terencana. “Kalau pun tidak bisa menanggulangi 100 persen, setidaknya ada rancangan jangka pendek, menengah, dan panjang yang terstruktur dan terkonsep dengan baik," kata Lukito kepada NU Online, Senin (20/10/2025).

 

Lukito, mengungkapkan bahwa pihaknya bersama LPBINU Jawa Tengah telah berupaya menggagas solusi alternatif. Salah satunya melalui kolaborasi dengan Universitas Diponegoro (Undip) dan sejumlah perguruan tinggi untuk merumuskan konsep perumahan bagi warga yang tinggal di kawasan rob.

 

“Jadi kita sudah buat prototipe, yaitu rumah apung. Dua sampai tiga tahun lalu sudah dibuat rumah apung dan madrasah apung. Alhamdulillah, tahun ini dari Pemkab Demak juga membuat dua rumah apung," imbuhnya.

 

Beberapa waktu lalu, hasil diskusi dengan Undip dan Pengurus Wilayah LPBINU Jawa Tengah menyimpulkan bahwa penanganan rob sebaiknya dimulai dari alam. Selain pembangunan tanggul laut atau giant sea wall, perlu juga ada upaya merawat alam melalui penanaman mangrove.

 

“Tetapi menanam mangrove itu tidak serta merta kita dapatkan. Teman-teman Undip menyarankan agar spesies mangrove yang ditanam adalah yang memang berasal dari Sayung, karena secara alam sudah cocok,” jelasnya.

 

Kendati demikian, upaya itu juga menghadapi kendala. Sebab, sampai saat ini belum menemukan formulasi yang tepat. 

 

"Di Sayung sendiri sudah tidak ada petani yang menyemai atau membuat pembibitan mangrove, seperti disampaikan para pecinta alam dan stakeholder yang ada,” kata Lukito.

 

LPBINU sempat berwacana menggagas rumah apung, penenanaman Mangrove kembali di pesisir pantai utara Sayung dan membuat wisata apung juga.

 

"tapi itu baru sebatas wacana karena kita terkendala dengan banyak faktor terutama pembiayaan kita dari mana belum ada," katanya.

 

Meski berbagai ide telah muncul, Lukito menegaskan bahwa penanganan rob tetap memerlukan dukungan nyata dari berbagai pihak, terutama pemerintah. 

 

LPBINU sempat diskusi dengan PCNU Demak tentang pendampingan petani tambak untuk penyemaian bibit mangrove lokal yang ada di Sayung. Targetnya, dalam satu setengah sampai dua tahun sudah tersedia bibit mangrove dengan tinggi sekitar satu hingga satu setengah meter yang siap ditanam. 

 

"Memang berat menangani rob banjir yang ada di Sayung. Kami juga sudah diskusi dengan PCNU Demak kalau kita menanam bibit Mangrove yang tingginya 20-25 cm pasti akan habis tersapu gelombang rob," sebutnya.

 

Bencana rob yang berkepanjangan, kata Lukito, berdampak besar terhadap kehidupan ekonomi masyarakat Demak saat ini. Banyak warga kehilangan mata pencaharian. 

 

"Secara ekonomi mereka menurun drastis. Yang dulu nelayan, petani tambak, dan petani sawah, semuanya telah hilang," tutur Lukito.

 

Mereka (warga terdampak banjir rob) memilih bekerja menjadi buruh pabrik demi menyambung hidup. Banyak di antara mereka meninggalkan kampung halaman untuk mencari kenyamanan hidup.

 

Dani, nelayan Tambakrejo mengatakan kalau tidak ada penanggulangan dua tahun ke depan Tambakrejo habis jadi lautan sebab setiap tahun air mengalami pasang naik kalau diprediksi naik sekitar 20 cm sampai 30 cm. "Kita sudah punya unek-unek kita sudah sampaikan ke pemerintah berkali-kali," kata Dia.

 

"Harapannya, warga terdampak rob terutama di wilayah Sayung, Karangtengah, dan Bonang dan sekitarnya bisa kembali hidup normal seperti masyarakat pada umumnya,” ujarnya penuh harap.

 

Peneliti Pusat Riset (PR) Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Inayah Hidayati mengungkapkan wilayah yang secara geografis rawan banjir dan berada di daerah aluvial, Demak menjadi titik krusial dalam studi adaptasi perubahan iklim. 

 

"Air dari berbagai penjuru bermuara ke wilayah ini. Sehingga menyebabkan banjir rob semakin parah dan sering terjadi," kata Inaya yang melakukan risetnya di Demak.

 

Wilayah pesisir yang bersebelahan langsung dengan Kota Semarang, menghadapi tekanan serius akibat dampak perubahan iklim. Banjir rob, abrasi pantai, dan ancaman migrasi permanen menjadi tantangan nyata bagi masyarakat setempat. 

 

"Peran pemimpin lokal, baik formal maupun informal, menjadi sangat krusial dalam mengupayakan ketahanan komunitas, dalam mengelola dampak kenaikan muka air laut di wilayah tersebut," tandasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang