Nasional

RUU Pesantren Jangan Menyeragamkan Pesantren

Jumat, 21 September 2018 | 07:56 WIB

Jakarta, NU Online
Wakil ketua Umum PBNU, KH Mochammad Maksum Machfoedz berpesan agar RUU Pesantren tidak berupaya menyeragamkan pola pengajaran dan tata kelola pesantren. Sebab kedua hal itu merupakan kekayaan dari masing-masing pemangku pondok pesantren yang tidak dapat diintervensi oleh kalangan luar pesantren, termasuk pemerintah.

“Tidak harus ada penyeragaman di dalam pesatren. Justru kekayaan jenis pesanten ini yang perlu diadopsi. Jangan membandingkan pesantren dengan sekolah umum, karena sangat berbeda,” kata KH Maksum Mahfooedz, kepada NU Online Jumat (21/9).

Perbedaan yang paling mendasar adalah bahwa pesantren umumnya berada dalam kepemilikan yayasan keluarga santri. Oleh sebab itu, yayasan pesantren biasanya memiliki hak sepenuhnya atas berbagai model yang diterapkan dalam pesantren yang bersangkutan.

Kedua, masih banyak pesantren yang pengelolaan keuangan dan model pendidikannya tidak mengikuti standart pendidikan dan keuangan yang biasa dipakai pemerintah atau sekolah-sekolah. “Hal semacam ini, tidak dapat diatur pemerintah jika hendak membantu pesantren,” katanya

Di luar itu, dalam banyak hal pola penyeragaman disebutnya sebagai pola yang cenderung menyesatkan. “Ketika ada undang-undang yang menyeragamkan, itu umumnya menyesatkan. Oleh karena Pesantren jangan diseragamkan. Karena bisa melunturkan wibawa lokal pesantren,” katanya.

Ia menyontohkan aturan asaz tunggal tunggal di masa lampau yang melahirkan mono loyalitas atau kesetiaan pada orang tertentu atau untuk patuh dan taat pada seorang petinggi di kalangan pegawai negeri.  Jika itu diterapkan di pesantren maka besar kemungkinan akan menyebabkan rusaknya iklim di pesantren.

Nah sebaliknya, RUU Pesantren sebaiknya bertujuan mengembangkan pesantren dengan memberikan fasilitas penunjang bagi kebutuhan seperti kesehatan, sanitasi, perpustakaan dan hal penunjang lainnya. Karena bagaimanapun pesantren adalah institusi yang sejak dulu turut mengabdi pada masyarakat bahkan jauh sebelum negara ini berdiri.

Penyeragaman biasa dihindari dengan pendataan yang kuat untuk pendefinisian pesantren. Dalam hal ini, menurut dia, pemerintah tidak dapar melakukan pendefinisian sendiri walaupun dengan melibatkan beberapa pesantren ternama yang berkapasitas besar misalnya memiliki santri ribuan hingga puluhan ribu. 

Pesantren demikian jumlahnya tak sebanding dengan pesantren kecil di pelosok yang umlahnya jauh lebih besar dari pada pesantren-pesantren besar. “Yang justru pesantren kecil seperti itulah yang lebih memerlukan bantuan sebenarnya,” ujarnya.

Ia menjelaskan, pondok pesantren memiliki varian yang sangat luas dari segi ukuran besar-kecilnya, metode pembelajarannya, tujuan utamanya hingga model pengelolaannya. Variasi dalam tubuh pesantren ini merupakan kehasan pesantren yang umumnya terbentuk karena akulturasi budaya atau menyesuaikan dengan lingkungan di mana pesantren tersebut berada.

“Maka dari itu, subkultur pesantren ini mesti terakomodir dalam RUU Pesantren nanti,” Pungkasnya. (Ahmad Rozali)


Terkait