Sarbumusi Respons Badai PHK Jelang HUT Ke-79 RI: Salah Arah Kebijakan Sektoral Pemerintah
Rabu, 14 Agustus 2024 | 13:00 WIB
Presiden Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Irham Ali Saifuddin menyampaikan sambutannya pada pelantikan DPP Konfederasi Sarbumusi, Kamis, 15 Desember 2022 di Hotel Acacia Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Menjelang Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-79 Republik Indonesia (RI), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) meliris jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) per 31 Juli 2024 sebanyak 42.863 orang.
PHK banyak didominasi industri pengolahan seperti tekstil, garmen dan alas kaki dengan jumlah 22.356 orang, sedangkan non-industri pengolahan sebanyak 20.507 orang
Merespons 'badai PHK' yang terjadi itu, Presiden Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Irham Ali Saifuddin mengungkapkan beberapa penyebabnya.
Irham mengatakan, salah satu penyebab dari adanya badai PHK itu karena salah arah kebijakan sektoral pemerintah, sehingga gelombang PHK dapat dilihat dari sektor padat karya seperti garmen, tekstil, dan alas kaki.
"Gelombang PHK yang belakangan terjadi di Indonesia lebih disebabkan oleh salah arah kebijakan sektoral pemerintah," kata Irham kepada NU Online, Rabu (14/8/2024).
Lesunya ketiga sektor itu, kata Irham, disebabkan oleh kebijakan dan pengawasan yang lemah terhadap impor barang bekas yang belakangan ini marak terjadi di Indonesia.
"Ini berimbas panjang pada maraknya angka PHK, karena sifat industri tersebut yang padat karya," jelasnya.
Selanjutnya, kata Irham, ada fenomena terkait adaptasi yang lambat industri garteks (garmen dan tekstil) Indonesia terhadap mesin-mesin industri sehingga investor beralih ke negara lain seperti Vietnam.
"Ketersediaan bahan baku sektor garmen, tekstil dan alas kaki yang tidak stabil," kata Irham.
Irham juga mengatakan bahwa kondisi perekonomian sedang tidak baik-baik saja. Ia menilai ada tren pelambatan ekonomi global. Ia merujuk data International Monetary Fund (IMF) yang mencatat bahwa ekonomi global pada 2024 sebesar 3,2 persen, sedikit melambat dibandingkan 3,3 persen pada 2023.
Selain itu, Irham mengungkapkan bahwa ada penyebab lain, yaitu situasi geopolitik seperti yang saat ini terjadi di Eropa Timur dan Timur Tengah. Situasi tersebut memicu inflasi global harga beberapa komoditas kunci dalam rantai pasok produksi barang dan jasa.
"Selain ini daya beli di negara-negara tujuan ekspor Indonesia juga sedang menurun," katanya.
Pengamat Ekonomi Kerakyatan sekaligus Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UGM Hempri Suyatna mengatakan bahwa tingginya angka PHK ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu di antaranya terjadi pada sektor industri padat karya yang mengalami dampak dari lesunya pertumbuhan ekonomi global.
“Saya kira memang banyak faktor yang menyebabkan gelombang PHK ini, terutama di sektor industri padat karya berorientasi ekspor seperti sektor garmen atau tekstil,” ujar Hempri melalui keterangannya di situs resmi UGM, dikutp NU Online pada Rabu (14/8/2024).
Selain itu, menurut Hempri, maraknya produk-produk impor ilegal maupun penurunan daya beli masyarakat akibat devaluasi rupiah juga ditengarai menjadi faktor terjadinya gelombang PHK.
Ditambah pula proses transisi politik di Indonesia yang mendorong banyak perusahaan untuk menahan diri setelah melihat dinamika politik yang akan terjadi. Hal ini juga ikut berpengaruh.