Nasional

Sebut Mulan Jameela hingga Ahmad Dhani, Pemohon di MK Sorot Minimnya Kompetensi Anggota DPR

Jumat, 10 Oktober 2025 | 16:00 WIB

Sebut Mulan Jameela hingga Ahmad Dhani, Pemohon di MK Sorot Minimnya Kompetensi Anggota DPR

Ilustrasi: sidang DPR RI. (Foto: dpr.go.id)

Jakarta, NU Online

Pemohon Dua Perkara Nomor 176/PUU-XXIII/2025, Advokat Syamsul Jahidin, dalam permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980, menyoroti minimnya kompetensi sejumlah anggota DPR RI.


Ia mencontohkan sejumlah artis yang dianggap tidak memenuhi kualifikasi substantif namun tetap memperoleh hak keuangan yang sama, termasuk pensiun seumur hidup.


“Contohnya Raden Wulansari (Mulan Jameela), ia duduk di Komisi VII yang membidangi energi, teknologi, dan lingkungan, padahal latar belakangnya hanyalah sebagai penyanyi. Ini tidak selaras dengan fungsi legislasi dan pengawasan DPR,” katanya secara daring dalam sidang perdana yang disimak oleh Ketua MK Hakim Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK pada Jumat (10/10/2025).


Bahkan, melansir surat permohonannya, Pemohon Satu, Psikolog Lita Linggayani Gading juga menilai Anggota Komisi X DPR RI Ahmad Dhani Prasetyo tidak memiliki kecakapan (skill), pengetahuan (knowledge), dan kompetensi yang memadai sebagai Anggota DPR RI, khususnya dalam melaksanakan tugas-tugas legislasi, pengawasan, dan perwakilan rakyat. 


“Kalau di DPR tuh, rapat paripurna jam 09.30, selesai jam 11. Jam 4 sore saya masih bisa manggung. Kalau di DPR tuh kerjanya enggak 9 to 5 (9 jam selama 5 hari),” ujar Ahmad Dhani dikutip NU Online dari Surat Permohonan Perkara Nomor 176/PUU-XXIII/2025.


Lebih lanjut, Syamsul juga menyinggung rendahnya kedisiplinan dan produktivitas anggota DPR, termasuk seringnya absen sidang, menitip absen, hingga bermain ponsel atau tidur saat rapat.


Menurut Pemohon, fakta-fakta ini semakin menguatkan alasan mengapa pemberian pensiun seumur hidup bagi DPR harus dikaji ulang secara konstitusional.


Pemohon menilai bahwa pemberian pensiun kepada anggota DPR, yang masa jabatannya hanya lima tahun, adalah tidak adil dan membebani keuangan negara.


“Frasa ‘anggota DPR’ dalam pasal a quo menciptakan ketimpangan. Bagaimana mungkin jabatan lima tahun mendapatkan pensiun seumur hidup bahkan bisa diwariskan, sementara rakyat biasa harus bekerja puluhan tahun?” jelas Syamsul.


Pemohon membandingkan dengan lembaga lain seperti Hakim MA, ASN, TNI, dan Polri yang umumnya hanya berhak atas pensiun setelah puluhan tahun masa kerja. Sementara DPR hanya perlu menjabat satu sampai lima tahun untuk memperoleh hak pensiun.


Menanggapi hal itu, Ketua MK Suhartoyo, meminta Pemohon untuk memperjelas dan memperkuat argumentasi permohonannya.


“Apakah alasan penghapusan pensiun hanya karena banyak artis masuk DPR, atau karena masa jabatan pendek? Harus dielaborasi lebih dalam,” katanya.


Kemudian, Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah juga mempertanyakan legal standing Pemohon, khususnya keterkaitan profesi psikolog terhadap pokok permohonan.


“Ini Ibu Lita sebagai psikolog yang kemudian ini ikut berbicara soal pensiun Anggota DPR. Nanti ditampung dulu, nanti dicatat, ada risalah, nanti diperbaiki,” katanya.


Sementara Hakim Daniel menyarankan Pemohon untuk meninjau kembali Putusan MK Nomor 41/PUU-XI/2013, karena norma serupa pernah diuji. Jika tidak hati-hati, permohonan bisa dianggap nebis in idem (perkara yang sama tidak boleh diajukan dua kali).


“Harusnya bisa searching di putusan-putusan MK apakah norma  ini pernah diajukan. Karena norma ini pernah diajukan maka harus dipastikan supaya memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 72 PMK 7 Tahun 2025 supaya tidak nebis in idem,” terangnya.