Tanggapan PBNU tentang Ciri-ciri Penceramah Radikal menurut BNPT
Senin, 7 Maret 2022 | 14:00 WIB
Bandarlampung, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Mohammad Mukri mengatakan bahwa indikator atau ciri-ciri penceramah radikal yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebenarnya bukan hal yang baru. Namun indikator ini bisa jadi untuk kembali mengingatkan umat Islam agar tidak sembarangan dalam memilih penceramah untuk berbagai forum dan acara keagamaan.
“Nahdlatul Ulama sudah sejak lama memiliki sikap yang sama dengan poin-poin yang telah dikeluarkan BNPT dan terus berkomitmen untuk menjadikannya bukan hanya sekedar wacana saja,” kata Profesor Ilmu Ushul Fiqih ini kepada NU Online, Senin (7/3/2022).
Yang terpenting dari semua itu adalah komitmen seluruh bangsa Indonesia untuk bersama-sama menguatkan sikap moderat dalam beragama sebagai solusi dalam melawan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Upaya penanggulangan radikalisme juga harus dilakukan oleh pemerintah dalam wujud nyata secara serius, terstruktur, sistematis, dan masif.
Ia mencontohkan langkah nyata di era sebelum reformasi berupa beberapa pelajaran di lembaga pendidikan formal yang bertujuan menguatkan pemahaman berbangsa dan bernegara seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan bangsa (PSPB) dan sejenisnya. Maka saat ini pun diperlukan langkah nyata untuk mengikis radikalisme dalam beragama yang mengarah pada ekstremisme dan terorisme.
“Negara harus hadir dalam penanggulangan terorisme dalam wujud nyata,” tegas pria yang akrab disapa Prof Mukri ini.
Ia juga memberi contoh konkret yang telah dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dalam menanamkan kecintaan warga NU terhadap bangsa dan agama melalui pemahaman dan prilaku beragama secara moderat. Pengaderan melalui madrasah Kader NU (MKNU) maupun Pendidikan Kader Penggerak NU (PKPNU) menjadi jawaban nyata agar warga NU memiliki prinsip kebangsaan dan keagamaan yang kuat.
Sebelumnya BNPT telah mengeluarkan lima ciri-ciri penceramah radikal yakni:
- Mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah transnasional.
- Mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.
- Menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan sebaran hoaks.
- Memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas).
- Biasanya memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifaan lokal keagamaan.
Kemudian kelompok radikal di Indonesia juga memiliki tiga strategi dalam mencapai tujuan mereka yakni:
- Mengaburkan, menghilangkan bahkan menyesatkan sejarah bangsa.
- Menghancurkan budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia.
- Mengadu domba di antara anak bangsa dengan pandangan intoleransi dan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Strategi itu dilakukan dengan mempolitisasi agama yang digunakan untuk membenturkan agama dengan nasionalisme dan agama dengan kebudayaan luhur bangsa. Proses penanamannya dilakukan secara masif di berbagai sektor kehidupan masyarakat, termasuk melalui penceramah radikal tersebut.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Aiz Luthfi