“UU Cipta Kerja itu tidak ada sinkronisasi dan harmonisasi dengan UU Nomor 8 tahun 2016, UU tentang disabel, tidak menyebut sama sekali,” kata Peneliti Disabilitas Slamet Thohari kepada NU Online pada Jumat (10/10).
Jakarta, NU Online
Undang-Undang Cipta Kerja yang telah diketok palu oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Senin (5/10) lalu tidak memedulikan para penyandang disabilitas. Pasalnya, hak-hak disabilitas yang termuat dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas tidak terakomodasi dalam UU Cipta Kerja.
“UU Cipta Kerja itu tidak ada sinkronisasi dan harmonisasi dengan UU Nomor 8 tahun 2016, UU tentang disabel, tidak menyebut sama sekali,” kata Peneliti Disabilitas Slamet Thohari kepada NU Online pada Jumat (10/10).
Selain itu, Slamet juga menggarisbawahi kata ‘cacat’ yang berjumlah enam dalam UU tersebut merujuk pada penyandang disabilitas. Ia menegaskan bahwa penggunaan kata tersebut merupakan bentuk kejahatan mengingat adanya stigma dan penghinaan yang terkandung di dalamnya.
“Padahal UU (sebelumnya) dan NU tidak menggunakan istilah itu. Itu kata yang ingin dihapus,” katanya.
Penggantian penggunaan istilah ‘cacat’ menjadi penyandang disabilitas itu sudah disepakati bersama dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Right of Person with Disabilities) yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.
Di samping itu, UU tersebut tidak memberikan fasilitas kepada para penyandang disabilitas sebagai haknya. Padahal, katanya, pembuka kerja harus memberikan aksesibilitas seluas-luasnya.
“Nggak ada sama sekali kewajiban. Hanya ada di rumah sakit. Itu pun direduksi masalah aksesibilitas hanya di infrastruktur,” ujar pengajar Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur itu.
Penyandang disabilitas itu ada yang tunanetra, tunarungu, hingga mental. Mereka juga, katanya, berhak untuk mendapatkan fasilitas yang membuka aksesnya. Ia mencontohkan, saat orang tunarungu dioperasi, tentu membutuhkan ahli bahasa isyarat untuk memberikan arahan atau petunjuk kepada pasien tersebut.
Slamet juga mencatat bahwa UU Cipta Kerja tidak inklusif mengingat Pasal 27 ayat (2) UU Bangunan Gedung dihapus. Hal tersebut membuat pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas semakin tidak terakomodasi.
Penutupan akses tenaga kerja penyandang disabilitas
Hal yang menjadi catatan lagi adalah soal pemutusan hubungan kerja karena pekerja mengalami disabel selama 12 bulan. Pemecatan itu, katanya, harusnya karena korupsi atau hal lain yang serupa. “Orang dipecat karena korupsi atau apa, bukan karena cacat. Harusnya dialihkan di ke program atau kerjaan lain. Justru ini berseberangan dengan kembali kerja,” katanya.
UU tersebut juga menghilangkan kewajiban bagi pembuka usaha untuk menerima satu persen pekerja dari kalangan difabel. “Itu sudah nggak ada. Padahal 28 juta penyandang disabilitas,” jelasnya.
Salah satu tujuan UU Cipta Kerja adalah untuk mendorong ekonomi. Namun, UU Cipta kerja ini meninggalkan kepentingan penyandang disabilitas untuk meningkatkan upaya ekonominya. “Kuotanya nggak disebut, fasilitasnya nggak ada, orangnya nggak boleh kerja,” kata akademisi yang pernah menjadi Sekretaris Pusat Studi Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya selama tujuh tahun itu.
Oleh karena itu, Slamet mendorong kelompok masyarakat yang hendak melakukan judicial review agar juga memperhatikan dan mengakomodasi kepentingan penyandang disabilitas.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin