Pertempuran dahsyat pada akhir Oktober hingga awal November 1945, merupakan perang yang sangat menentukan perjalanan kemerdekaan Indonesia. Dalam pertempuran ini, komandan pasukan Britania, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas di Surabaya pada 30 Oktober 1945. Hal ini membuat Inggris sangat marah.
Faktor pemicu penting perjuangan di Surabaya, yakni Resolusi Jihad yang difatwakan oleh Rais Akbar PBNU waktu itu, Hadaratussyekh KH. Hasyim Asy’ari, berdasarkan pertemuan konsul-konsul NU Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945:
Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe 'ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)'.
Dalam waktu yang sangat lama Resolusi Jihad ini terpendam dan nyaris hilang dalam kesadaran bangsa Indonesia, termasuk para santri sehingga kontribusi kiai dan santri dalam perjuangan kemerdekaan nyaris hilang dalam catatan sejarah perjuangan bangsa. Baru pada 15 Oktober 2015, hari terbitnya fatwa yang dikenal dengan Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945, ditetapkan dengan Keputusan Presiden sebagai Hari Santri. Kepres ini merupakan pengakuan politik atas kontribusi santri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa.
Tanggal 22 Oktober 2025, 80 tahun Resolusi Jihad telah berlalu, tapi kesetiaan santri pada bangsa dan negara tidak pernah berubah. Pernyataan NKRI harga mati, Mars Subbanul Wathan yang selalu dinyanyikan bersama dalam acara-acara Nahdliyin, yang di antara liriknya menegaskan bahwa cinta tanah air termasuk keimanan, merupakan ikrar setia pada bangsa.
Dalam Kick-Off Peringatan Hari Santri di Plaza PBNU Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menyebut 3 karakter penting santri: thalibul ilm, tazkiyatun nafs, dan jihad. Sebagai thalibul ilmi santri dituntut untuk terus belajar tentang apa pun untuk kebaikan, khidmah, dan perjuangan untuk diri dan bangsanya. Pandangan demikian didasari kesadaran bahwa ilmu bukanlah untuk ilmu, melainkan untuk kebenaran dan kebaikan untuk semua.
Sejak sangat awal, pesantren (tempat para santri belajar teks-teks suci untuk menyucikan dirinya dengan perilaku-perilaku baik dan benar) tidak hanya menjadi tempat transfer ilmu, tetapi juga tempat membiasakan diri pada kebaikan dan kebenaran (riyadlah), baik sebagai individu maupun anggota komunitas dan warga masyarakat secara umum.
Di pesantren, santri didorong untuk mengendalikan ego, membiasakan rendah hati, siap membantu siapa pun, serta menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Selain itu, dengan ilmu, para santri didorong untuk tidak tergesa-gesa membuat kesimpulan atau keputusan ketika mendapati perbedaan.
Di pesantren, bahkan di komunitas Muslim secara umum, santri diperintahkan menghormati ilmu. Siapa pun tahu bahwa ilmu abstrak, tetapi tak seorang pun yang menolak eksistensinya. Penghormatan pada ilmu, di pesantren, diwujudkan dengan menghormati orang-orang berilmu, para guru, para kiai, dan memperlakukan alat-alat belajar (seperti buku, alat tulis, dan perangkat lainnya) dengan baik. Ekspresi penghormatan bisa berbeda-beda sesuai dengan tradisi dan budaya yang berbeda-beda pula.
Perbedaan merupakan fitrah. Perbedaan tidak selalu merupakan pertentangan atau konflik. Dada yang sempit atau berpenyakit, sering melihat perbedaan sebagai masalah dan terus berusaha mengeliminasi perbedaan, memaksakan agar sama dan seragam. Ketakmampuan menerima perbedaan sering diekspresikan dengan memberi stigma buruk, merendahkan, bahkan menghakimi sebagai sesat dan semacamnya, seperti kado Hari Santri 2025 dari Trans7. Di sinilah, karakter kedua santri, tazkiyatun nafs, menemukan momentum yang sangat penting.
Tazkiyatun nafs sangat lazim di lingkungan penempuh jalan sunyi, jalan ruhani. Karena hakikat manusia bukanlah pada penampilan lahiriahnya, tetapi pada ruhani yang mengarahkan perilaku jasmaniahnya.
Dalam banyak riwayat kerap diceritakan bahwa, setelah ruh dimasukkan ke dalam diri Adam, para malaikat bersujud, memuliakan Adam. Namun iblis abai, hingga Allah bertanya, “Iblis, apa yang membuatmu tidak memuliakan Adam yang telah aku buat dengan kedua tangan-Ku?”
Baca Juga
Sejarah Hari Santri
Iblis merespons, “Aku lebih baik dari dia. Engkau ciptakan aku dari api, dan Engkau ciptakan dia dari tanah.” Menjadi jelas, perspektif iblis berbasis materi, berbeda dari malaikat yang berbasis ruhani.
Tazkiyatun nafs menjadi ikhtiar agar para santri tidak terbelenggu paradigma material, hubungan dengan siapa pun harus berbasis ruhani karena pada hakikatnya manusia memang makhluk ruhani. Tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) menjadi sangat penting karena jiwa yang kotor akan mudah terjebak pada pemujaan material, bahkan relasi pun berdasarkan materi.
Dari jiwa yang kotor kerap muncul ucapan atau pernyataan kotor dan buruk. Maka sekali pun dihina, dinista, dan direndahkan, dengan tazkiyatun nafs santri diharapkan mampu menahan diri dan tidak berperilaku buruk, membela diri pun tetap diingatkan untuk tidak merusak, apalagi membakar. Sedangkan secara vertikal, tazkiyatun nafs dipandang sebagai ikhtiar untuk melepaskan diri dari keterikatan pada materi, untuk menghampiri Yang Mahasuci.
Dengan ilmu dan jiwa yang bersih, santri diharapkan mampu untuk terus melaksanakan jihad dan mujahadah, yakni bersungguh-sungguh dan fokus dalam mengupayakan terwujudnya kebaikan dengan senantiasa tetap melihat ke dalam dirinya, mengenali dirinya secara jujur, dan terus memperbaiki diri agar tidak menjadi masalah bagi dirinya dan orang/pihak lain. Alpa dalam mujahadah, alpa dalam tazkiyatun nafs, ilmu yang diperoleh potensial memuat siapa pun semakin pandai menyalahkan orang lain, menyakiti dan menghina orang lain.
Telah 80 tahun Resolusi Jihad berlalu, tapi semangatnya tetap kuat dalam jiwa setiap santri. Jiwa setiap pada bangsa dan negara, jiwa untuk terus belajar, jiwa yang terus berusaha membersihkan dirinya, jiwa untuk terus bersungguh-sungguh mengupayakan kebaikan dan kebenaran. Selamat Hari Santri, 22 Oktober 2025; jangan pernah berhenti menjadi santri.
KH Hodri Ariev, Ketua RMI-PBNU