Opini

Guru Saya dan Kitabnya

Jumat, 24 Maret 2023 | 13:00 WIB

Guru Saya dan Kitabnya

Para santri mengikuti pengajian bandongan di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. (Foto ilustrasi: Kemenag/Elik Ragil)

Bagi kalangan pesantren sudah jamak diketahui bahwa salah satu sistem pendidikan di pesantren adalah bandongan. Bandongan adalah sistem pengajian yang berpusat pada seorang guru. Yaitu, guru membacakan sebuah kitab, mengartikan atau menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal seperti Jawa, Sunda, Madura, atau Melayu, lalu menjabarkannya dengan menggunakan bahasa Indonesia. 

Pengajian bandongan di pesantren biasanya dilakukan oleh seorang kiai atau pengasuh pesantren atau juga oleh ustadz senior yang biasanya mendapatkan mandat dari pengasuh. Kiai membaca kitab dalam waktu-waktu tertentu, seperti setelah shalat jamaah seperti Dhuhur dan Asar. Sedangkan mengaji kepada ustadz lebih fleksibel. Santri bisa memilih sesuai dengan waktu luang para santri. Biasanya, jadwal pengajian kitab yang dibacakan oleh ustadz waktunya tidak berbarengan dengan jadwal pengajian kiai.

 

Pada sekitar tahun 1984 hingga tahun 1990-an saya nyantri di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin. Salah satu kelebihan nyantri di sini adalah saya bisa mengaji kepada banyak kiai. Sebab, di desa Babakan terdapat puluhan pesantren. Bahkan kini tercatat sebanyak 57 Pesantren di desa ujung bagian barat kabupaten Cirebon ini. Kondisi tersebut saya manfaatkan untuk belajar mengaji kepada banyak kiai. Di antaranya adalah Kiai Asymawi, Kiai Muntab, Kiai Amin, Kiai Fuad, Kiai Masduki, Kiai Muhammad, Kiai Muchtar, dan sejumlah Kiai lainnya. Salah satu yang paling saya kenang adalah saat mengikuti pengajian kitab Tafsir Jalalain yang dibacakan oleh al-Magfurlah KH Syaerozi selaku pengasuh Pondok Pesantren As-Salafie Babakan Ciwaringin. Saat itu saya tidak begitu memperhatikan siapa dan bagaimana biografi penulis kitab tafsir tersebut. Belakangan, saat saya menempuh pendidikan strata satu (S1) di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada jurusan Tafsir Hadis saya baru mengetahui biografi penulis dalam kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun karya ulama Mesir, Syekh Muhammad Husain al-Dzahabi. 
 

Selain kepada para kiai Babakan, saya juga mengikuti pengajian yang dibacakan oleh ustadz-ustadz di pesantren. Di antaranya adalah almarhum Ustadz Thohari. Beliau ahli dalam bidang ilmu alat dan memiliki kecakapan dalam membaca kitab-kitab fiqih. 
 

Ilmu Alat di Pesantren

Ilmu alat merupakan sebuah istilah dalam lingkungan pesantren bagi ilmu nahwu (gramatika Arab) dan sharaf (morfologi). Saya tidak tahu persis siapa dan kapan kedua ilmu ini dijuluki sebagai ilmu alat. Yang pasti bahwa kedua ilmu ini merupakan kunci dasar bagi seorang santri untuk dapat menyelami literatur dan kekayaan kitab kuning dalam berbagai disiplin ilmu. Sebab, tanpa pengetahuan yang cukup atas kedua ilmu tersebut mustahil bagi seorang santri untuk dapat membaca kitab kuning. Mungkin karena itulah kedua ilmu tersebut dikenal dengan sebutan ilmu alat. Ilmu nahwu sering disebut sebagai “abul ilmi” alias ayah bagi ilmu. Sedangkan ilmu sharaf adalah ibunya (ummul ilmi).

 

Di pesantren, kedua ilmu ini dipelajari secara gradual alias runtut. Sesuai dengan jenjangnya masing-masing. Ilmu nahwu biasanya dipelajari mulai dari kitab Al-Jurumiyyah. Sebuah kitab dasar ilmu nahwu yang ditulis oleh Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Daud Ash-Shanhaji alias Ibnu Ajurrum (w. 1324 M). Dalam kitab ini, para santri akan mempelajari dasar-dasar ilmu nanwu seperti apa itu “kalimat”, macam-macam kalimat, serta kedudukan-kedudukan kalimat dalam bahasa Arab. 


Setelah mengkhatamkan kitab al-Jurumiyyah, para santri akan diberikan materi lanjutan semisal Nadham al-Imrithi. Sebuah karya Nahwu berbentuk puisi (nazam) yang berjumlah 254 bait. Nazam yang berisi pengembangan dari kitab al-Jurumiyyah ini disusun oleh Syaikh Syarafuddin Yahya al-Imrithi (w 890 H/1485 M). Jenjang berikutnya adalah mempelajari kitab-kitab seperti Mutammimah hingga yang paling tinggi seperti Nadham Alfiyyah ibn Malik. Sebuah nazam seribu dua bait yang ditulis oleh Imam Ibnu Malik asal Andalusia Spanyol (w. 1274 M). 

 

Sementara pembelajaran ilmu sharaf biasanya dimulai dengan mengaji kitab al-Amsilah al-Tashrifiyyah karya Kiai Maksum bin Ali asal Jombang. Melalui kitab ini para santri diharapkan dapat mengetahui asal usul sebuah kata. Kemudian para santri biasanya diberikan kitab lanjutan seperti Nadham al-Maqsud, Kailani, dan lain sebagainya.

 

Menekuni Disiplin Ilmu Lain

Berbekal pengetahuan ilmu alat yang cukup, para santri dapat dengan mudah mengakses khazanah keilmuan Islam dari berbagai disiplin seperti fiqih, tasawuf, hadits, dan lain sebagainya. Kendati demikian, bukan berarti setiap santri yang sudah “ngelotok” ilmu alatnya dipastikan bisa membaca teks-teks dari disiplin ilmu lainnya. Sebab, dalam disiplin ilmu lain, terdapat nomenklatur-nomenklatur yang tidak mudah dipahami tanpa panduan dari seorang guru.

 

Untuk menekuni disiplin ilmu lain tidak hanya bermodalkan ilmu alat saja. Meskipun, ilmu alat memang bagian dari syarat seorang santri dapat menjelajahi kitab-kitab lintas disiplin keilmuan. Untuk itu, santri yang ingin menekuni ilmu lain di antaranya bisa mengikuti pengajian-pengajian yang dibacakan oleh kiai pengasuh pesantren atau ustadz-ustadz senior di pesantren. Dengan melalui cara mengaji kepada guru, silsilah keilmuan seorang santri terhubung dengan para muallif kitab-kitab yang dipelajarinya. 

 

Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI