Kabar menarik dari Gedung MPR-DPR RI di Senayan, Jakarta. 233 anggota parlemen membariskan diri menggunakan hak angket atau hak penyelidikan atas kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) (Kompas, 25/6/2008). Menariknya lagi, Yuddy Chrisnandi, Anggota Fraksi Partai Golkar, yang merupakan partai pendukung pemerintah, juga ikut menyempal dari partainya untuk mendukung rencana itu. Sekilas, tampak hebat. Tapi, benarkah itu? Tunggu dulu!
Gosip DPR tentang penggunaan hak semacam itu sebenarnya sudah sering terjadi, tapi sering juga tidak ada hasilnya. Jadi, tidak begitu istimewa. Entah sudah berapa kali anggota parlemen menggunakan hak-haknya untuk menggertak pemerintah, tapi hasilnya sering mentah. Ujung-ujungnya mecet di tengah jalan. Sepanjang periode ini, belum ada satu pun hak-hak parlemen yang benar-benar serius terlaksana, melainkan hanya memanaskan suasana. Bahkan, tragisnya, para anggota DPR yang menggaungkan hak itu justru takluk di hadapan pemerintah.
<>
Memang, kebijakan pemerintah yang secara paksa menaikkan harga BBM itu perlu diselidiki. Karena, jelas menyengsarakan rakyat banyak yang pendapatannya di bawah standar. Persoalan utamanya adalah bahwa pemerintah mengambil kebijakan itu terkesan sembarangan. Kenapa sembarangan? Karena tanpa mengimbanginya dengan usaha meningkatkan daya beli masyarakat. Maka, terjadilah kepincangan. Rakyat kecil yang penghasilannya masih jauh dari gaji normal, semakin sengsara dan tertindas atas kebijakan itu. Padahal, dalam perspektif Islam, tegas dikatakan bahwa kebijakan pemerintah harus diorientasikan untuk kesejahteraan umat. Kalau faktanya kenaikan BBM memang sangat menyengsarakan, bukankah itu namanya paradoks?
Soal itu, pemerintah barangkali bisa beralibi: Bukankah masyarakat sudah dikasih bantuan langsung tunai (BLT)? Tapi, pertanyaannya, cukupkah BLT untuk menebus kesengsaraan rakyat akibat kenaikan BBM. Dipandang dari segi apa pun (moral, hukum, politik), BLT itu sangat tidak solutif dan efektif. Karena, dengan BLT, pemerintah justru terkesan menggampangkan persoalan. Justru menunjukkan bahwa pemerintah sangat dangkal dan parsial dalam menghadapi masalah bangsa. Dari pada pusing-pusing, cukup potongkan anggaran sedikit, kemudian dibagikan kepada rakyat miskin dengan nominal yang sama. Pola semacam itu sebenarnya sangat primitif. Memangnya anak kecil sehingga cukup dikasih uang tunai sekian rupiah. Kalau BBM itu memang masalahnya, anak SD atau TK mungkin bisa diatasi dengan cara yang dangkal semacam itu. Tapi, ini persoalan bangsa.
Imagologi Politikkah?
Karena memang sangat mneyengsarakan orang banyak, terutama masyarakat kecil, maka sangat perlu DPR melayangkan angket kepada pemerintah untuk memblejeti kebijakannya yang tak populis itu. Namun, persoalannya seberapa seriuskah para anggota DPR mengusung hak angket itu. Sebab, DPR sendiri sekarang juga sering main-main dan
pandai membuat citra atas dirinya. DPR sendiri masih suka menjalankan, apa yang disebut Yasraf Amir Pilliang (2005): imagologi politik, yaitu ilmu pengetahuan atau kondisi yang di dalamnya realitas politik dibingkai dan sekaligus direduksi ke dalam prinsip dan wujud-wujud citra dalam berbagai medianya.
Supaya dikatakan prorakyat, maka atas nama rakyat, DPR sering melontarkan isu angket, isu interpelasi, isu advokasi dan isu-isu lainnya. Isu-isu semacam itu tidak pernah dijalankan secara serius, tetapi sekedar basa-basi politik untuk mengangkat citra para anggota DPR sendiri. Bukan berburuk sangka, tetapi kenyataan yang sering terjadi memang semacam itu. Jadi, dalam konteks ini, antara eksekutif dengan legislative, sebenarnya tak ada bedanya: sama-sama suka membangun citra melalui beragam teater yang dimainkan di atas panggung politik.
Politik citra DPR itu pada hakikatnya strategi untuk ‘menjilat’ hati nurani rakyat. Supaya percaya, maka rakyat disodori berbagai penampilan politik yang tampak penuh kebaikan, kebijaksanaan, kepahlawanan, dan sebagainya. Padahal, semua itu hanya sandiwara. Sebab, kenyataannya memang tidak pernah ada hasilnya. Mungkin DPR lupa bahwa rakyat benar-benar mau memberikan kepercayaannya itu kalau memang kerjanya memberikan hasil yang konkret terhadap kebaikan rakyat. Kalau sekedar janji-janji palsu, omongan kosong dan kepura-puraan, rakyat justru menjadi muak.
Maka, rencana akan diberlakukannya hak angket DPR kali ini perlu dipertanyakan dengan tegas, untuk apa hak angket itu digelontorkan? Merepresentasikan siapa hak angket itu? Jelasnya, sebelum DPR itu menyelidiki pemerintah, para wakil rakyat juga harus terlebih dahulu diselidiki. Apakah hak angket itu merepresentasikan dari kegelisahan rakyat banyak atau hanya merepresentasikan ambisi para anggota DPR sendiri.
Bagaimana pun, pelaksanaan hak angket itu tidak boleh menafikan aspirasi rakyat. Artinya, hak angket itu harus benar-benar dilaksanakan atas dasar kepentingan rakyat sehingga nantinya memang menghasilkan kemaslahatan rakyat. Jadi, tidak sekedar mencerminkan konflik antara eksekutif dan legislatif. Lebih dari itu, penyelidikan memang berangkat dari cita-cita untuk memperjuangkan rakyat. Kalau ancaman penyelidikan itu sekedar strategi DPR untuk membuat lobi-lobi politik dengan pemerintah, maka justru menjadi sebuah pengkhianatan atau persekongkolan jahat.
Penyelidikan perlu, sebab, sebagaimana kata Goenawan Mohammad (2001), parlemen terbaik sekali pun bisa seperti sebuah pabrik tahu. Proses yang bekerja di sana, seperti proses membuat tahu, tidak berada dalam tabung yang bersih. Tak ada yang 100 persen sudah jadi. Semua berkembang dari babak ke babak melalui dialog dan permainan topeng. Tentu saja ada akal sehat yang bekerja di sana, tetapi juga kepentingan yang tak selamanya luhur. Maka, setiap keputusan di dalam DPR sangat labil. Seperti iman, keputusan DPR setiap detik, menit dan jam mudah sekali berubah. Perubahan itu tergantung hasil lobi-lobi yang dilakukan para wakil rakyat sendiri. Maka, kalau kekuatan lobi itu kebetulan dimenangkan pihak yang pro dengan status quo, maka keputusan yang asalnya dikemas untuk rakyat banyak pun akan turut berubah mendukung status quo.
Boleh jadi hak angket kali nanti bernasib seperti itu. Karena itu, apakah hak angket yang diusung DPR kali ini benar-benar untuk rakyat banyak, tergantung hasil yang muncul. Kalau akhirnya memang secara konkret, bisa menciptakan kemaslahatan publik, berarti benar bahwa para anggota dewan itu bekerja untuk rakyat. Tetapi, kalau tidak, berarti DPR itu memang bukan hanya pabrik tahu, tetapi mulut busuk yang berbau busuk dan menghasilkan sesuatu yang busuk pula.
Penulis adalah Pegiat Forum Diskusi “Linkaran 06” dan Staf Ahli pada Hasyim Asy’ari Institute, Yogyakarta