Mahbub Djunaidi: Nyali Penulis, dan Bui Membayar Ongkos Demokrasi
Sabtu, 4 Oktober 2025 | 09:21 WIB
“Kalau mau hidup lebih lama, jangan bicara soal kebenaran di depan umum!” (Plato)
Sialnya, ini menimpa Mahbub Djunaidi. Ia terpapar risiko di akhir tahun 70-an karena ujaran dan tulisan yang dianggap subversif sebagai wartawan dan Wasekjen PPP. Pukul 07.00 pagi, 11 April 1978, rumahnya di Jl. Nilem, Bandung disambangi 15 orang anggota POM ABRI. Ia ditangkap atas suruhan Jaksa Agung Ali Said SH dan Pangkopkamtib Sudomo titah Presiden Soeharto.
Keluarga bergeming kaget. Rekan-rekannya terhenyak. Tak tanggung, ia ditangkap dengan pesohor lain, Bung Tomo, pejuang 10 November dan Ismail Sunny. Tak begitu lama, W.S. Rendra juga ditangkap.
Orang-orang dekat Mahbub ada yang bereaksi ada yang tidak.
Sudomo bilang, itu urusan Jaksa Agung. Entah kebetulan, Jaksa Agung ujug-ujug pelesir ke Papua (dulu lebih sohor disebut Irian Jaya). Bagaimana dengan bos Mahbub di PBNU? KH Idham Chalid mendadak cuti sakit dan terbang ke Singapura.
PBNU ada juga geliatnya, ditulisnya surat dari NU memohon pembebasan 3 orang sekaligus, Mahbub, Ismail Sunny, dan Bung Tomo. Surat tidak diteken KH Idham Chalid karena memuat 3 orang. Akhirnya diganti hanya untuk Mahbub.
Sekjen PBNU Yahya Ubaid termasuk yang intens menuntut pembebasan Mahbub. KH Imron Rosyadi memperlihatkan support-nya. Ia tak memakai baju PPP, tapi sebagai Ketua Komisi 1/Hamkam DPR RI.
Bukan cuma dia, 7 pejabat DPR solider bereaksi. Mereka adalah KH Yusuf Hasyim, Zamroni, KH Saifuddin Zuhri, Anwar Nurris, KH Imron Rosyadi, Muchtar Khudori dan Romas Jayasaputra.
Ketujuh pejabat bernyali ini pasang badan buat Mahbub, bersedia menjamin dengan jaminan penuh. Tapi begitulah, pejabat DPR kalah mentereng dibanding Danramil-Komandan Koramil. Mahbub dan beberapa tokoh tadi masuk bui tanpa pengadilan.
Baca Juga
Ketika Mahbub Djunaidi Membela Subhan ZE
Singkatnya, para rebellion termasuk Mahbub masuk Nirbaya-kependekan dari Interniran Berbahaya, letaknya di belakang Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dekat juga asrama haji Pondok Gede dan terminal Pinang Ranti. Kini Nirbaya sudah musnah.
Mahbub satu sel dengan Bung Tomo dan menikmati masa kelam di penjara yang bentuknya seperti paviliun-paviliun dengan penjagaan ketat. Di sana ada juga Jendral Omar Dhani karena terlibat Gerakan 30 September PKI. Dia masuk duluan, sejak 1966.
Karena banyak luang, Mahbub sempatkan menterjemahkan buku Muhammad Husain Haykal berjudul Road to Ramadhan dan diubah judulnya jadi Di Kaki Langit Gunung Sinai.
Info dari istrinya, Hasni Asymawi, terjemahan itu diselundupkannya di antara baju-baju kotor saat keluarga besuk.
Sekadar menghibur diri, ada juga dia menulis beberapa surat pada keluarga juga rekan-rekan dekatnya. Misal surat yang melayang ke Hussein Badjerei, tokoh Al-Irsyad:
“Bilang ke Nasti (putri Hussein-Red). Om Mahbub bukan maling lho! Koruptor apalagi...Segalanya akhirnya mesti kupikul sendiri. Pokoknya gak malu-maluin Tenabang deh gue. Gue tanggung!”
Di lain waktu, masih dalam bui dia juga menulis begini:
”Rasanya bui bukan apa-apa buat saya. Apalagi bukankah ditahan itu suatu ‘risiko bisnis?’ Kata orang penjara itu perguruan tinggi terbaik. Asal saja kita tidak dijebloskan karena mencuri. Saya rasakan benar kebenaran misal itu. Sedangkan nonton bioskop perlu ongkos, apalagi demokrasi. Dan ongkos itu perlu dibayar! Iuran saya sebenarnya sedikit sekali. Jalan masih panjang, apa pun yang terjadi mesti kita tempuh...”
Mahbub tak begitu lama dikurung di rumah tahanan Nirbaya. Saat ketahuan darah tinggi, dokter di sana memaksanya untuk dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), ditempatkan sendirian, VVIP dengan fasilitas yang baik.
Masuk April 1979, ia dibebaskan dan dengan senyum gembira berangkat ke Bandung, ke rumah barunya JL. Kliningan 2 No. 1 Turangga. Rumah di Nilem karena sebab finansial terpaksa dijual saat Mahbub masuk bui.
Dari sepenggal kisah itu, ia sangat ‘berwarna’. Mulai belia sudah jadi penulis jempolan, bertambah umur makin matang dan dikenal luas sebagai wartawan yang punya nyali. Ada pengalaman sebagai pesakitan tanpa pengadilan.Musuh dan temannya banyak.
Di mata keluarga, Mahbub tak lebih dari gambaran Si Bung Yang Antik! Sebutan Bung memang melekat saat dia beroleh cucu dari Putri sulungnya. Ia punya ‘phobia’ menjadi tua, jompo dan ringkih.
”Jangan panggil gue engkong, kakek, apalagi simbah!-Nanti kalau Nadia (Cucu paling besar-red) sudah mulai gede, panggil gue bung!“
Mulai dari situlah julukan itu melekat di antara keluarga, sampai akhirnya menular ke teman-teman dekat, junior-juniornya sampai anak mahasiswa binaan Mahbub, terutama sahabat-sahabat PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).
Yang keukueh enggak panggil sebut Bung cuma binaannya yang lain, para gangster motor yang suka curhat ke Mahbub. Mereka tetap memanggilnya Om Mahbub.
“Kalian kan sering gue kasih masukan spiritual. Nah, gue mau minta imbalan. Entar kalau gua wafat, lu semua wajib ngawal jenazah gue sampai kuburan. Paling nggak gue pengen ngerepotin warga Bandung kalau gue berpulang,” katanya serius.
Syukurlah ’ambisinya’ kesampaian. Pas 1 Oktober pagi 1995, hari kematiannya, jenazah Mahbub di dalam ambulans dikawal geng motor sampai pemakaman Assalam di Jl. Soekarno Hatta, bersebelahan dengan pemakaman umum Caringin.
Saat itu lumayan heboh, macet dimana-mana. Pengawal ambulans tak punya adab protokol pengawalan, lalu lintas semrawut. Bandung macet. Anak-anak motor saat itu lumayan kagum pada Mahbub karena banyak tokoh ternama, pejabat , kiai, santri ikut mengawal.
”Kita baru tahu kalau Om Mahbub itu tokoh masyarakat. Apa dia kiai juga?” begitu kesan-kesan mereka.
Itulah warna-warna lain seorang Mahbub. Ia sering ngajak berantem dalam pikiran dengan banyak orang. Dengan Rosihan Anwar ribut di media massa soal apakah Soekarno minta ampun pada Belanda. Mahbub lumayan jengkel atas tulisan Rosihan. Cara balasnya simpel, ia pergi ke rumah Ibu Inggit Garnasih, janda Soekarno untuk klarifikasi.
”Kusno (sebutan kesayangan Ibu Inggit pada Bung Karno-Red) lelaki lelanang ing jagad! Ia gak mungkin minta ampun ke Belanda,” tegas Ibu Inggit.
Polemik dengan Gus Dur juga tajam, soal khittah plus di kalangan Nahdliyin. Belum lagi dengan yang lain-lain utamanya pejabat kelas kakap di era Orde Baru, termasuk Soeharto.
Uniknya dia juga gentle mengakui jika ada kebijakan yang dianggapnya baik. Misalnya kasus Taman Mini. Tulisan Mahbub sangat positif mendukung pembangunan TMII itu. Sampai-sampai Ibu Tien senang dan mengundang Mahbub ke Cendana.
Sisinya yang lain, dia suka musik dan film. Baginya musik paling demokratis ya Jazz. Pemainnya ngalor ngidul kayak, main sendiri-sendiri dalam harmoni yang tetap enak didengar.
Syukur kegemarannya pada jazz menurun pada anak lelakinya, Yuri Mahatma yang kini jadi musisi Jazz ternama di Tanah Air.
Soal film, ia ada beberapa kekaguman. Aktor yang digandrunginya Benyamin Sueb dan Bing Slamet. Kedua seniman ini membuat Mahbub terkesima, bahkan saat Benyamin wafat (5 September 1995), Mahbub kelihatan sangat berduka. Beberapa film juga sangat berkesan dalam negatif dan positif. Negatif (tak suka, tapi tetap nonton), jelas film epik G-30s PKI tiap 30 September di TV nasional. Malah disinyalir darah tingginya naik gara-gara nonton film ini di malam 30 September 1995. Subuh 1 Oktober Mahbub berpulang.
Dua film yang sangat digandrunginya, Flash Dance dibintangi aktris cantik Jennifer Beals dan action heroik era perang Perancis-Inggris di Amerika (1757), The Last of Mohican dibintangi Daniel Day Lewis dan aktris cantik Madeline Stowe. Film The Last of The Mohicans inilah yang jadi film terakhir yang ditonton Mahbub di gedung bioskop.
Dia sebagai penterjemah makin unik lagi. Ia ogah nurut pakem sesuai keinginan penulis asli. Kata orang umum: ugal-ugalan serampangan alias semau gue. Buku 100 Tokohnya Michael Hart, diobrak-abrik jadi gaya Mahbub. Begitu juga Binatangisme, 80 hari Keliling Dunia, Cakar-Cakar Irving dan banyak lagi.
Fadlan Djunaedi, adik Mahbub berkomentar ihwal kakaknya dalam buku Uniknya Ka Abo, sosok yang unik-antik. Ada junior Mahbub komentar, penulis aslinya di kudeta Mahbub hingga buku terjemahan itu jadi Mahbub banget!
Untuk soal ini, Mahbub sama seperti Ronnie James Dio (vokalis Raimbow dan Dio)- yang saking jagonya, lagu cover yang dinyanyikannya jadi milik sang vokalis.
Dan paling bontot soal Mahbub sebagai penulis puisi. Coba simak beberapa puisi yang ditulisnya saat belia. Di akhir penggalan puisinya tertulis,”Di Malam hening-bulan hanya bisa memberi senyum. Semua ini jalan, semua ini jadi sasaran. Kalau sampai waktunya, arus ini bisa hanyutkan segala.. Kenangkan aku..”-(ditulis dibalik foto kenangan Mahbub dan Hussein Badjerei 1950 di Kebon Raya Bogor).
Atau puisi dalam cerita pendek Kardin yang ditulisnya tahun 1952.
”Aku sekarang mau tidur dulu. Tidur dengan mengambil separuh kesenangan dari yang kau biasa punyai. Keranjang di kiriku, dan aku sendiri lalu onggokan kaleng-kaleng tua yang kosong di sebelah kananku...”
Tahun 80-an, Ajip Rosidi sesama penulis legend dan sahabat Mahbub sempat bertanya, kenapa enggak menulis puisi lagi?
”Gue udah insyaf!”
Ajip jengkel.
”Wah, lu jangan gitu dong. Lu kira penulis sajak itu sesat apa?”
Begitulah Mahbub. X-tra ordinary person! Alfatihah....
Isfandiari MD, pendiri Klub Motor Outsider, Wasekjen PBNU, putra H. Mahbub Djunaidi