Opini

Memahami Persoalan PBNU dan Proposal Penyelesaiannya

Rabu, 24 Desember 2025 | 18:00 WIB

Memahami Persoalan PBNU dan Proposal Penyelesaiannya

Bendera Nahdlatul Ulama (Foto: NU Online)

Jika dihitung dari penolakan terhadap penonaktifan KH.Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sebagai Ketua Umum PBNU, konflik ini telah berjalan lebih dari 30 hari. Cukup lama untuk sebuah organisasi yang terbiasa menyelesaikan persoalan besar lewat musyawarah dan akrab dengan suasana jenaka; dan cukup panjang untuk melihat bagaimana sebuah konflik yang mula-mula tampak administratif perlahan berubah menjadi krisis legitimasi yang menyita energi organisasi dan jamaahnya.


Dalam rentang waktu itu, NU tidak hanya berhadapan dengan perbedaan pandangan internal, tetapi juga dengan meluasnya konflik ke ruang publik, forum-forum kultural, dan narasi besar yang saling bertabrakan. Konflik ini tidak meledak dalam satu peristiwa yang tiba-tiba—sebagaimana kerap dianggap oleh sebagian orang—melainkan tumbuh melalui rangkaian keputusan, respons, dan intervensi yang saling bertumpuk serta, pada titik tertentu, saling menegasikan antarentitas.


Dari Administrasi ke Krisis
Kalau ditarik sedikit ke belakang, salah satu persoalan mendasar dari konflik ini adalah kenyataan bahwa sejak awal ia tidak pernah benar-benar disepakati sebagai konflik bersama. Dalam teori konflik, kondisi semacam ini sangat rawan: ketika para pihak belum sampai pada kesadaran yang sama bahwa mereka sedang berkonflik dan ingin menyelesaikannya. Setiap langkah yang disebut “penyelesaian” justru berpotensi dibaca sebagai peneguhan posisi masing-masing pihak.


Tanda awal pelebaran konflik dapat ditelusuri sejak Konsolidasi Bangkalan, 18 Agustus 2024, yang melahirkan Presidium Penyelamat Organisasi NU dan tuntutan Muktamar Luar Biasa. Sejak titik ini, konflik mulai keluar dari pagar struktur resmi PBNU. Ia tidak lagi sepenuhnya dikelola sebagai persoalan internal, melainkan hidup sebagai wacana publik dengan logikanya sendiri. Tidak ada satu pun kekuatan yang diakui bersama memiliki otoritas untuk mengurai persoalan secara menyeluruh.


Di saat yang sama, konflik ini sejatinya berakar pada relasi. Rais Aam KH Miftachul Akhyar, Ketua Umum KH Yahya Kholil Staquf, dan Sekretaris Jenderal Syaifullah Yusuf adalah tiga figur sentral yang sebelumnya berjalan seiring sebagai pemenang Muktamar dan pengambil keputusan besar. Setidaknya, hal ini dapat dibaca dari paparan salah seorang Bendahara PBNU, Sumantri Suwarno, yang beredar di media sosial. Dalam banyak kajian konflik relasional, konflik paling keras justru lahir bukan dari orang-orang yang sejak awal berseberangan, melainkan dari aliansi lama yang retak ketika kepentingan dan ekspektasi tidak lagi sejalan.


Tabayun dan Jalan Buntu
Ketika relasi mulai retak dan komunikasi tidak lagi sinkron, mekanisme organisasi diuji. Pada 13 dan 17 November 2025, Rais Aam PBNU memanggil Ketua Umum PBNU untuk proses tabayun. Dari perspektif Syuriyah, dua pertemuan ini merupakan ikhtiar menjalankan mekanisme internal sebelum melangkah lebih jauh. Proses berjalan; sayangnya, pertemuan yang oleh Rais Aam dipahami sebagai tabayun tersebut tidak diakui sebagai tabayun yang sah dan memadai oleh Ketua Umum.


Kegagalan mencapai pengakuan bersama ini menjadi dasar bagi langkah berikutnya. Pada 20 November 2025, Rapat Harian Syuriyah mengeluarkan  “fatwa organisasi” yang meminta Ketua Umum mundur dalam waktu 3×24 jam. Enam hari kemudian, pada 26 November 2025, PBNU menerbitkan Surat Edaran yang menyatakan bahwa status Ketua Umum tidak lagi berlaku. Sejak titik ini, dualisme kepemimpinan berjalan secara de facto, karena Gus Yahya menilai pemberhentian tersebut sebagai pelanggaran konstitusi organisasi dan memandang dirinya tetap sebagai Ketua Umum selaku mandataris muktamar.


Upaya penegasan legitimasi kemudian dilanjutkan melalui rilis dokumen resmi. Pada 22 Desember 2025, Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar menandatangani dan merilis penjelasan kronologis proses tabayun beserta alasan pemberhentian. Dokumen ini menutup perdebatan bahwa “tidak ada tabayun”, tapi sekaligus menegaskan bahwa persoalan utamanya bukan ketiadaan proses, melainkan perbedaan pengakuan atas keabsahan dan kecukupan proses tersebut.


Ketika Simbol Tak Bekerja
Setelah konflik mengeras, muncul keyakinan bahwa konflik bisa ditekan dengan power. Pendekatan ini lebih mirip dengan logika keamanan ketimbang resolusi konflik. Indikasinya tampak pada pelibatan tokoh-tokoh karismatik secara bertahap: Ploso (30 November 2025), Tebuireng (6 Desember 2025), hingga puncaknya Musyawarah Kubro bertema Meneguhkan Keutuhan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama yang digelar di Aula Muktamar Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri, pada Ahad (21 Desember 2025).


Pada forum Lirboyo, kekuatan simbolik dibuat berlapis. Kiai diposisikan sebagai “dua gardan” sekaligus: sebagai mustasyar dalam struktur dan sebagai kiai sepuh dalam kultur, diperkuat dengan kehadiran cabang dan wilayah. Di atas kertas, ini tampak sebagai kekuatan yang sangat besar. Namun forum ini sejak awal bukanlah medium yang disepakati bersama sebagai wasilah penyelesaian sengketa, karena inisiatifnya tidak lahir dari broker yang diakui oleh para pihak.


Seluruh kekuatan tersebut pada hakikatnya adalah kekuatan simbolik yang, secara teoretis, hanya bekerja sejauh diakui. Ketika dua pihak yang berkonflik tidak bersepakat atas simbol tertentu, maka simbol itu kehilangan daya kerjanya. Yang menentukan bukan kerasnya suara, melainkan kesepakatan makna.


Narasi islah lahir dalam konteks ini. Islah adalah kata yang indah dan sarat muatan moral. Namun ketika definisi, mandat, dan mekanismenya tidak disepakati, islah berisiko menjadi label moral yang dapat menjadi ajang kontestasi klaim antarkelompok. Pihak yang mempertanyakan format mudah dicap anti-islah, padahal yang dipersoalkan bukan tujuannya, melainkan caranya. Sementara kelompok yang hadir tanpa syarat berpotensi didudukkan sebagai kubu pro islah walaupun yang terjadi adalah pemanfaatan momentum.


Bagi pembaca yang tidak familier dengan kompleksitas struktur sosial dan kekuatan kultural NU, perlu sedikit penjelasan. Keluarga besar Nahdlatul Ulama umumnya terikat oleh lebih dari satu relasi kultural sekaligus: santri–kiai, mursyid–murid, bahkan satu orang Nahdliyin dapat belajar di banyak pesantren atau memiliki sanad keilmuan kepada sejumlah guru. Dalam konteks konflik ini, jejaring relasi tersebut tidak selalu berada pada afiliasi kubu yang sama.


Konflik ini akan terus berlarut selama para aktor tidak berani berterus terang pada inti persoalan dan tetap bersembunyi di balik narasi besar. Pecahnya relasi dan berubahnya kepentingan disamarkan sebagai konflik prinsip. Islah yang rekonsiliatif bukanlah panggung simbolik, melainkan kerja sunyi: mengecilkan arena, mempersempit aktor, dan memulihkan pengakuan bersama. Mereka yang memulai bersama, pada akhirnya memang merekalah yang harus berani mengakhirinya.


Terlepas dari segala teori dan fakta yang berkembang, Nahdlatul Ulama adalah organisasi jamaah kaum tradisionalis yang dinamis dan progresif dalam banyak hal. NU kerap memberi kejutan. Karena itu, bisa jadi pada jeda waktu antara penulisan dan penerbitan tulisan ini, konflik telah usai—dan bukan hanya islah yang terjadi, melainkan juga silaturahmi yang ashlah.


Pada akhirnya, konflik ini tidak bisa dilepaskan dari proses sejak Muktamar Lampung, dari berbagai kesepakatan dan harapan yang menyertainya. Apa yang terjadi hari ini adalah bagian dari residu proses tersebut. Karena itu, pelajaran terpentingnya adalah memastikan Muktamar yang akan datang disiapkan dengan lebih terbuka dan arif, agar perbedaan kepentingan tidak kembali meninggalkan sisa-sisa konflik yang menyakitkan bagi jam’iyyah dan jamaah NU.


Imam Malik Riduan, dosen ISIF Cirebon, peneliti pada School of Social Sciences, Western Sydney University, Australia