Majelis Tahkim Khusus, Solusi Memecahkan Sengketa untuk Persoalan di PBNU
NU Online · Senin, 15 Desember 2025 | 13:00 WIB
Budi Suhariyanto
Kolomnis
Selama hampir satu bulan terakhir, telah terjadi perselisihan pendapat dan pengambilan keputusan di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) antara Rais Aam KH Miftachul Akhyar (Kiai Miftach) dengan Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Semua bermula dari keputusan Rais Aam yang memberhentikan Ketua Umum berdasarkan Rapat Harian Syuriyah pada 20 November 2025. Keputusan ini dikukuhkan dalam Rapat Pleno pada 9-10 Desember 2025. Rapat Pleno juga menetapkan KH Zulfa Mustofa sebagai Pejabat Ketua Umum PBNU.
Gus Yahya keberatan dengan keputusan Rapat Harian Syuriyah itu sebab keputusannya tidak memiliki dasar hukum, bahkan bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU serta Peraturan Perkumpulan terkait. Rapat Harian Syuriyah, menurutnya, tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan pemberhentian Ketua Umum dan melanggar tata hukum serta aturan organisasi yang asasi. Berkaitan dengan tuduhan yang dijadikan alasan pemberhentiannya dalam Risalah Rapat Harian Syuriyah, Gus Yahya bersedia memberikan klarifikasi dalam suatu forum rapat atau majelis persidangan yang konstitusional sesuai dengan AD/ART dan peraturan terkait.
Pada 6 Desember 2025 di Pesantren Tebuireng, Jombang, Forum Sesepuh dan Mustasyar mengadakan pemanggilan kepada para pihak yang berselisih untuk dimintai keterangan atau penjelasan yang memadai sekaligus mencoba menemukan jalan keluar terbaik. Salah satu amanat dari forum tersebut menyatakan bahwa “persoalan ini hendaknya diselesaikan melalui mekanisme internal NU, tanpa melibatkan institusi atau proses eksternal, demi menjaga kewibawaan jam’iyah dan memelihara NU sebagai asset besar bangsa”.
Mengisi Kekosongan Hukum
Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organsiasi Kemasyarakatan menyebut: “Dalam hal terjadi sengketa internal Ormas, Ormas berwenang menyelesaikan sengketa melalui mekanisme yang diatur dalam AD dan ART”. Artinya, menurut hukum negara, sengketa kepengurusan Ormas harus mendahulukan proses penyelesaian secara internal. Sementara itu, AD/ART NU tidak mengatur keberadaan lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan perselisihan secara internal. Namun, PBNU memiliki Peraturan Perkumpulan yang di dalamnya terdapat pasal yang mengatur soal ini, yaitu Peraturan Perkumpulan Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelesaian Perselisihan Internal.
Kedudukan Perkum No. 14 Tahun 2025 adalah konstitusional meskipun tidak diatur secara eksplisit oleh AD/ART. Secara hukum, Perkum dibenarkan untuk mengisi kekosongan hukum yang tidak tercakup dalam AD/ART dan memperlancar penyelenggaraan organisasi. Bisa jadi, kekosongan hukum ini baru disadari pengurus PBNU setelah Muktamar bahwa perlu ada regulasi mengenai penyelesaian perselisihan internal, apalagi ini merupakan tuntutan dari UU Ormas.
Mekanisme internal NU yang dapat digunakan untuk menyelesaikan perselisihan antara Rais Aam dan Ketua Umum adalah melalui Majelis Tahkim. Pasal 1 angka 3 Peraturan Perkumpulan Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelesaian Perselisihan Internal menyebut bahwa “Majelis Tahkim adalah wadah untuk penyelesaian perselisihan internal perkumpulan Nahdlatul Ulama”.
Di antara wewenang Majelis Tahkim yang diatur oleh Perkum No.14 Tahun 2025 ialah menguji kesesuaian Keputusan PBNU dan memutuskan perselisihan pengurus NU di semua tingkatan. Keputusan PBNU yang dimaksud bisa berupa keputusan Rais Aam terkait pemberhentian Ketua Umum berdasarkan Rapat Harian Syuriyah tanggal 20 November 2025. Majelis Tahkim dapat melaksanakan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili Ketua Umum dalam rangka membuktikan kebenaran atas tuduhan dari Rais Aam guna mewujudkan due process of law (proses hukum yang adil).
Mengapa Majelis Tahkim Khusus Perlu?
Berkenaan dengan Pasal 6 ayat (2) Perkum No. 14 Tahun 2025 yang mengatur bahwa “Rais Aam PBNU secara ex-officio menjadi Ketua merangkap anggota sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a”, dan mempertimbangkan kedudukan Rais Aam sebagai salah satu pihak yang berselisih, maka ketentuan ini perlu disimpangi (eksepsional). Tidak dapat dibenarkan seorang Ketua Majelis Hakim (Tahkim) mengadili perkaranya sendiri. Eksepsionalitas atas ketentuan ini, dalam perkara perselisihan antara Rais Aam dengan Ketua Umum, dapat dibenarkan berdasarkan prinsip hukum dan peradilan yang adil. Karena itu, perlu ada Majelis Tahkim yang memiliki kekhususan dan berlaku secara ad hoc hanya untuk menangani perkara perselisihan ini. Selanjutnya, Majelis Tahkim yang demikian dapat disebut sebagai Majelis Tahkim Khusus.
Ada sebuah asas umum dalam prinsip peradilan yaitu “nemo judex in causa sua” yang berarti hakim tidak boleh memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang terkait dengan dirinya sendiri karena akan timbul conflict of interest. Putusan dari peradilan yang melanggar asas ini akan patut dipertanyakan keadilannya. Prinsip nemo judex in causa sua secara normatif juga tercantum dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang berbunyi “Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan” (vide 5.12).
Prinsip nemo judex in causa sua berlaku secara universal. Tidak hanya dalam hukum positif negara, tetapi dalam hal peradilan etik dan peradilan internal organisasi. Hal ini tidak saja terkait dengan personel yang mengadili (sebagai hakim), tetapi berlaku juga dalam konteks organ organisasi. Apabila terdapat dua organ di dalam suatu organisasi berselisih, maka dibutuhkan organ lain (pihak ketiga) untuk membantu menyelesaikan perselisihan atau sengketa.
Berdasarkan pertimbangan di atas, susunan Majelis Tahkim Khusus meniscayakan orang yang tidak terlibat perselisihan. Karena itu perlu ditetapkan menggunakan prinsip eksepsionalitas bahwa seluruh jajaran Syuriyah dan Tanfidziyah yang terlibat dalam perselisihan dilarang menjadi ketua, anggota, sekretaris, maupun wakil sekretaris pada Majelis Tahkim Khusus. Sebab itu pula saya mengusulkan bahwa mereka yang menduduki Majelis Tahkim Khusus berasal dari Mustasyar.
Lantaran jumlah personel Mustasyar cukup banyak, maka saya usulkan agar yang menduduki Majelis Tahkim Khusus adalah Mustasyar yang merupakan anggota Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) pada Muktamar Ke-34 NU di Lampung, yaitu KH Ma’ruf Amin, KH Anwar Manshur, KH Nurul Huda Jazuli, KH Zainal Abidin, TGH Turmudzi Badaruddin, KH Ali Akbar Marbun, dan KH Ahmad Musthofa Bisri. Para anggota AHWA merupakan tokoh sentral yang bermusyawarah dan memberikan amanat kepada KH Miftachul Akhyar sebagai Rais Aam pada Muktamar tersebut (vide Pasal 40 ayat (1) huruf a AD NU).
Para ulama sepuh yang dipilih dengan suara terbanyak oleh Mukamirin sebagai anggota AHWA ini tentu memiliki legitimasi dan kepercayaan yang tinggi. Dengan mandat historis demikian, tentunya mereka akan memiliki wibawa tinggi dalam menyelesaikan perselisihan antara Rais Aam dengan Ketua Umum yang sama-sama mandataris Muktamar (vide Pasal 40 ayat (1) huruf e AD NU). Jika mandat historis para AHWA diaktivasi untuk menjalankan peran sebagai anggota Majelis Tahkim, perselisihan akan menemukan jalan keluar terbaik dan memberikan rasa keadilan bagi para pihak yang berselisih—sesuatu yang tentu sangat ditunggu dan diharapkan oleh para pengurus dan jamaah NU secara umum.
Islah sebagai Mitigasi Risiko
Kini, tak bisa dipungkiri bahwa telah terbentuk dua kelompok di tubuh PBNU. Harus ada ikhtiar mencari jalan keluar secara konstitusional sesuai UU Ormas, AD/ART, serta Perkum. Bagaimanapun, masing-masing pihak merasa benar dan menuduh pihak lain salah. Karena itu, Majelis Tahkim Khusus akan berfungsi sebagai forum peradilan dan/atau perdamaian (islah) dalam rangka penyelesaian perselisihan secara internal.
Jika perselisihan Rais Aam dan Ketum PBNU tidak segera ditangani melalui Majelis Tahkim Khusus, maka akan terjadi stagnasi kepengurusan di PBNU. Terpisahnya Rais Aam dengan Ketua Umum mengakibatkan tidak dapat terselenggaranya kepengurusan dan tindakan serta keputusan yang sah sebab harus ditandatangani bersama, seperti penandatanganan keputusan-keputusan strategis serta penerimaan, pengalihan, penjaminan, penyerahan wewenang penguasaan atau pengelolaan, dan penyertaan usaha atas harta benda bergerak atau tidak bergerak yang dimiliki atau dikuasai NU. Stagnasi demikian juga akan berdampak pada perpecahan dan/atau pelaksanaan program kerja kepengurusan di tingkat Wilayah, Cabang, MWC, dan Ranting. Bahkan mungkin dapat terjadi perebutan kantor, dokumen organisasi, akses kerja sama, hingga konflik yang terbawa ke akar rumput.
Saya pikir, para pengurus PW hingga anak ranting banyak sekali yang mengharapkan islah agar perselisihan bisa dituntaskan secepatnya. Para pengasuh pondok pesantren dan komunitas kiai, nyai, serta lainnya juga telah menyuarakan islah. Karena itu, Majelis Tahkim Khusus sebaiknya segera dibentuk agar kepengurusan organisasi NU dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Budi Suhariyanto, doktor ilmu hukum; Peneliti pada Pusat Riset Hukum BRIN; dan Wakil Ketua LPBH PWNU Jawa Timur.
Terpopuler
1
Bedah Hujjah KH Afifuddin Muhajir: Dari Kewajiban Taat AD/ART hingga Pentingnya Bukti Konkret
2
Kelompok Sultan Tunjuk M Nuh sebagai Katib Aam PBNU
3
PBNU Kelompok Sultan Targetkan Percepatan Muktamar dan Gelar Harlah 1 Abad NU
4
Kelompok Sultan Gelar Rapat Harian Syuriyah-Tanfidziyah di Gedung PBNU
5
Gus Yahya Dorong Islah Demi Keutuhan Jamiyah, Serukan Warga NU Tetap Jaga Persatuan
6
Kabar Duka: Prof Ahmad Syafiq, Pengurus Lembaga Kesehatan PBNU Wafat
Terkini
Lihat Semua