Serangan Israel lainnya juga menghancurkan sebuah pasar di selatan Kota Nabatieh pada Sabtu (12/10/2024) malam. (Foto: Aljazeera)
Akhirnya gencatan senjata antara Israel dengan Hizbullah benar-benar terwujud. Gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS) dan pemerintah Lebanon serta didukung oleh Prancis mulai berlaku efektif sejak jam 04.00 pagi waktu setempat pada 27 November kemarin. Pada tahap pertama, gencatan senjata akan berlangsung selama 60 hari.
Di masa awal ini, pasukan Israel diwajibkan mundur secara perlahan dari wilayah Lebanon Selatan yang telah diduduki sejak pertempuran 17 September 2024. Sementara Hizbullah pada masa awal ini diwajibkan untuk menarik pasukan dan persenjataannya dari wilayah Lebanon Selatan digantikan oleh pasukan Lebanon. Hizbullah maupun kelompok lain dilarang menyerang Israel. Sementara Israel tidak akan menyerang target mana pun di Lebanon; udara, darat maupun laut. Inilah kurang lebih poin paling krusial dari 13 butir kesepakatan antara Israel dan Hizbullah yang dibocorkan beberapa media di Timur Tengah sebelum kesepakatan ini berjalan efektif (aawsat.com, 26/11).
Gencatan senjata ini disambut secara gegap gempita oleh masyarakat Lebanon, khususnya bagian selatan yang terdampak dari perang yang secara langsung terjadi pada 17 September 2024 lalu. Sebaliknya, masyarakat Israel cenderung menerima gencatan senjata ini secara negatif. Bahkan Menteri Dalam Negeri Israel, Itamar Ben Gvir, yang dikenal keras menyebut gencatan ini sebagai kesalahan sejarah. Menurutnya, seharusnya Israel terus menyerang Hizbullah hingga milisi ini bertekuk lutut.
Hizbullah
Kenapa Hizbullah atau masyarakat Lebanon menyambut gencatan senjata ini secara positif bahkan menampakkan semangat kemenangan? Tentu banyak hal yang bisa menjadi jawaban dari pertanyaan di atas. Salah satunya adalah bahwa pilihan konfrontasi langsung dengan Israel bukan pilihan yang diinginkan oleh masyarakat Lebanon. Terlebih lagi negeri ini mengalami krisis ekonomi yang cukup parah dalam beberapa waktu terakhir. Dan terlebih lagi sebagian masyarakat Lebanon mungkin trauma dengan perang berkepanjangan yang pernah dialami pada waktu-waktu sebelumnya. Bagi masyarakat Lebanon, gencatan senjata ini berarti kembali pada perdamaian dan kehidupan normal.
Di laur alasan di atas, karena Hizbullah yang secara sengaja melibatkan diri dalam perang Israel-Hamas (sejak 8 Oktober 2023) dengan logika solidaritas ternyata tidak cukup siap untuk berhadapan secara total dengan Israel. Faktanya, semenjak Israel terlibat dalam perang langsung dengan Hizbullah, Israel dengan mudah menyerang target-target utamanya di Hizbullah dan Lebanon. Bahkan hanya sekitar 10 hari semenjak perang langsung terjadi antara Israel-Hizbullah terjadi (17/09), Israel sudah berhasil membunuh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Hizbullah, Hassan Nasrallah (27/09).
Sebagaimana pernah disampaikan oleh Naim Qassem yang sekarang menjadi Sekjen Hizbullah, sejak Israel melakukan serangan peger pada 17 September 2024 maka sejak saat itu Israel telah membuka front secara langsung dengan Hizbullah. Sejak saat itu, eskalasi serangan terus meningkat dari kedua belah pihak. Di satu sisi roket-roket Hizbullah berhasil mencapai target-target militer di Israel. Tapi di sisi lain, Israel juga sangat leluasa menarget dan membunuh tokoh-tokoh utama Hizbullah. Bahkan Hashem Safieddine yang sempat digadang-gadang akan menjadi pengganti Nasrallah sudah berhasil dibunuh oleh Israel (23/10) sebelum secara resmi menjabat sebagai Sekjen Hizbullah. Dan masih banyak lagi tokoh besar lain yang berhasil dibunuh oleh Israel, termasuk jenderal-jenderal Iran yang menjadi pelatih utama Hizbullah dan kelompok perlawanan lain di kawasan.
Dengan kondisi seperti ini, Hizbullah membutuhkan damai untuk menata ulang organisasi, kondisi bahkan strateginya. Termasuk strategi wihdatus sahah (satu kesatuan lapangan) di kalangan kelompok perlawanan. Berdasarkan strategi ini, serangan terhadap salah satu pihak dari kelompok perlawanan dianggap sebagai serangan terhadap seluruh kelompok perlawanan. Itulah sebabnya, sejak Hamas menyerang Israel secara mengejutkan pada 07 Oktober 2023 lalu, Hizbullah melakukan serangan-serangan gangguan ke Israel. Walaupun hal ini belum menjadi front tersendiri, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Dengan demikian, bagi Hizbullah, persetujuan atas gencatan senjata ini berarti melepaskan diri (paling tidak untuk sementara waktu) dari strategi wihdatus sahah. Dengan kata lain, Hizbullah melepaskan diri dari Hamas di Gaza. Dengan gencatan senjata ini, Hizbullah membolehkan dirinya untuk bersepakat damai dengan Israel, walaupun Hamas sampai sekarang masih digempur secara habis-habisan. Hizbullah membutuhkan masa damai ini untuk menata ulang kondisi internalnya yang ternyata telah menjadi keropos akibat penyusupan intel-intel Israel. Hingga Israel berhasil menguasai sistem informasi Hizbullah. Inilah yang bisa menjelaskan terjadinya serangan peger yang kemudian berlanjut menjadi serangan kepada tokoh-tokoh utama Hizbullah, khususnya Nasrallah.
Israel
Bagaimana dengan Israel? Situasi yang dialami Israel justru terbalik dari yang dialami masyarakat Lebanon. Dengan keberhasilan membunuh tokoh-tokoh utama perlawanan (dari Nasrallah hingga Sinwar), Netanyahu belakangan semakin mendapatkan kepercayaan dari publik Israel. Bahkan sebagian media Israel menggambarkan Netanyahu tak ubahnya macan yang begitu kuat dan lincah menghadapi musuh di banyak front dalam waktu yang bersamaan.
Dengan psikologi kemenangan ini, sebagian masyarakat Israel menginginkan perang terus dilanjutkan untuk menekuk habis kelompok perlawanan, khususnya Hizbullah. Alih-alih melanjutkan perang, Netanyahu justru menyetujui gencatan senjata dengan Hizbullah.
Dalam hemat penulis, ada beberapa hal yang hendak dicapai oleh Netanyahu melalui gencatan senjata ini. Pertama, upaya memperbaiki citranya di dunia internasional yang selama ini dikenal arogan, doyan perang, tidak mau berunding, bahkan melawan hukum internasional. Israel menggunakan gencatan senjata ini untuk membalik asumsi di atas; faktanya Israel menyetujui gencatan senjata ini. Gencatan senjata ini bisa membawa Israel pada sisi strategis yang diinginkan mengingat gencatan senjata ini melibatkan pihak-pihak lain di luar AS, dimulai dari sebagian negara Eropa (khususnya Prancis), Timur Tengah dan yang lainnya.
Kedua, melalui gencatan senjata ini, Netanyahu hendak mewujudkan janjinya untuk memberikan hadiah perdamaian bagi Trump yang berhasil memenangi Pilpres AS pada 5 November lalu. Trump dan Netanyahu memiliki hubungan yang kuat. Kemenangan Trump salah satunya disebabkan oleh strategi yang dimainkan Netanyahu melalui perang (ulasan lebih lengkap tentang ini bisa dibaca di dalam tulisan penulis berjudul Trump Effect di Timur Tengah, Media Indonesia, 23/11). Dengan terjadinya gencatan senjata ini, Trump hampir pasti sudah mengetahui dan turut menyetujuinya.
Ketiga, mengendalikan dampak buruk dari serangan-serangan yang dilakukan Hizbullah. Walaupun roket-roket Hizbullah banyak yang berhasil ditangkal oleh sistem pertahanan Israel, tapi sebagian roket Hizbullah berhasil mencapai sasarannya, termasuk target militer bahkan tentara. Kondisi ini bisa menghadirkan rasa tidak aman dan tidak nyaman bagi warga Israel. Dan ini sudah lebih dari cukup sebagai gambaran keberhasilan serangan Hizbullah. Karena rasa tidak aman dan nyaman akan membuat warga Israel eksodus ke luar. Sementara orang Yahudi yang ada di luar mungkin tidak mau masuk ke Israel.
Keempat, dengan gencatan senjata ini Israel ingin lebih fokus kepada Hamas di Gaza, terlebih lagi setelah Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat penangkapan terhadap Netanyahu dan Yoav Gallant sebagai mantan Menteri Pertahanan Israel (20/11). Menurut salah satu media Israel, sebagaimana dikutip Aljazeera.net (27/11), kekebalan diplomatik yang diberikan Prancis kepada Netanyahu ada kaitan dengan gencatan senjata antara Israel-Hizbullah, termasuk peran Prancis di dalamnya.
Dengan kepentingan-kepentingan di atas, Israel berani untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan Hizbullah. Terlebih lagi, Israel masih bisa menyerang Hizbullah atau kelompok lain di Lebanon dengan dalih Hizbullah melakukan pelanggaran yang mengancam keamanan Israel. Alasan inilah yang sekarang digunakan oleh Israel ketika menyerang beberapa target di Lebanon. Padahal gencatan senjata masih berlangsung.
Hasibullah Satrawi, pengamat politik Timur tengah dan dunia Islam.