Ada 38 pasangan calon tunggal dalam Pilkada serentak tahun 2024. Satu paslon tunggal di tingkat propinsi dan 37 di tingkat kabupaten/kota. Ada sebagian orang yang melihat bahwa keberadaan calon tunggal merupakan kemunduran demokrasi karena partai politik dianggap tidak punya nyali untuk mencalonkan tokoh-tokoh politiknya (terutama ketua partai politiknya). Berhadapan dengan fakta bahwa calon tunggal rata-rata berasal dari petahana, partai politik dianggap lebih main aman daripada berhasil melahirkan kader dari partainya untuk menjadi penantang.
Meskipun demikian, ada pandangan yang realistik yang menganggap bahwa keberadaan calon tunggal bukan berarti kegagalan partai politik. Tetapi lebih dipandang sebagai cara parpol merespons keadaan politik yang sifatnya dinamis dengan pertimbangan rasional. Karena bagaimanapun dalam sebuah pertarungan politik, yang ingin diraih adalah kemenangan. Politik dianggap sebagai pilihan dari aktor-aktor politik secara rasional, yang kadang lebih pada soal “untuk mendapatkan apa” atau “who get what, when, and how” (Lasswell, 1936).
Pendidikan Politik
Tentunya tuntutan untuk melakukan pendidikan politik datang dari mereka yang berpikir ideal, yang ingin melihat demokrasi lebih baik, lebih berkualitas dan bermartabat. Bukan hanya soal kalah-menang, tapi juga membawa dampak pada kualitas demokrasi dan output (hasil pemilihan) yang berpihak pada rakyat banyak.
Dan idealisme semacam ini juga ditegaskan dalam konstitusi, undang-undang, dan peraturan-peraturan yang dibuat oleh mereka yang pada saat membuat juga berpikir cukup ideal. Konstitusi (UUD 1945) menegaskan bahwa “mencerdaskan bangsa” adalah salah satu frase yang indah untuk mengarahkan bagaimana tujuan untuk mendidik masyarakat merupakan tujuan mulia. Selain “kesejahteraan umum” dan “keadilan sosial” yang umumnya akan lahir dari mereka (pemimpin dan pejabat publik) yang dipilih melalui sebuah pemilihan yang berkualitas.
Undang-undang tentang partai politik dan undang-undang tentang pemilihan tentunya secara ideal menegaskan agar aspek-aspek pendidikan politik (UU Partai Politik) dan pendidikan pemilih atau voters education (UU Pilkada) bisa mewarnai—terlebih jika bisa mendominasi. Lembaga negara diharapkan melakukan pembinaan agar idealisme itu bisa terwujud dalam kebijakan dan praktik-praktik politik yang dilakukan.
Upaya untuk mendorong partai politik dan aktor-aktor politik yang larut dalam kompetisi pemenangan menjadi aktor-aktor pendidikan politik tentu akan kembali pada bagaimana mereka memadukan antara kepentingan politik dengan ide-ide dan praktik politik yang ideal. Apakah mereka hanya mementingkan tindakan pragmatis semata untuk menggalang kekuatan atau meraih suara? Ataukah mereka pada saat yang sama juga menyadari sebagai agen pendidikan politik?
Di satu sisi, penyelenggara negara, terutama KPU selaku penyelenggara pemilu dan pemilihan, juga harus mendesain kegiatan yang bisa meningkatkan partisipasi yang diiringi dengan kualitas pemilih—bukan semata banyaknya pemilih yang nyoblos atau datang ke TPS. Dalam hal melakukan fasilitasi kampanye, sebagai ajang dan sarana pendidikan politik dan pendidikan pemilih, tentunya harus didesain dengan strategi yang baik.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye memuat berbagai metode kampanye seperti biasanya, misalnya mulai dari pertemuan terbatas dan tatap muka, pemasangan alat peraga kampanye, penyebaran bahan kampanye, kampanye lewat media (iklan kampanye) dan media sosial, rapat umum, juga kampanye lewat debat publik.
Metode yang saya sebut terakhir inilah yang sebenarnya paling menarik untuk dijadikan sarana edukasi politik. Debat publik membuat masyarakat bukan hanya mendengar visi-misi, program, dan kebijakan yang akan dilakukan paslon, tapi juga bisa melihat langsung bagaimana gestur tubuh, mimik muka, atau penampilan secara umum dari pasangan calon. Ia bisa menjadi hiburan (political show) bagi rakyat, terutama lewat media yang menyiarkannya. Tapi yang terpenting adalah substansi atau apa yang disampaikan oleh pasangan calon.
Kampanye memang selalu dianggap masa paling penting dalam melakukan pendidikan politik. Di sini ada peran pasangan calon yang bisa dilihat dalam menyampaikan visi-misinya serta program-program apa yang akan dilaksanakan. Dan di antara kegiatan kampanye, yang paling edukatif adalah acara debat publik antar-pasangan calon.
Di luar acara debat, misal dalam kegiatan tatap muka, pertemuan terbatas, dan rapat umum, memang dimungkinkan terjadinya interaksi langsung antara pasangan calon dengan massa (calon pemilih). Tapi intensitas penyampaian visi-misi dan dialektika pertukaran pemikirannya tidak terlalu kuat. Acara mengumpulkan massa tak jarang hanya lebih banyak berupa kegiatan yang lebih dominan aspek hiburannya atau menyenangkan massa saja.
Misal lomba memancing yang hanya membuat orang bergembira dan lebih banyak membuat massa menikmati kegembiraannya ketika memancing ikan yang disediakan oleh panitia kampanye. Dalam kegiatan lain di mana dibuat desain kampanye mengundang jumlah massa yang besar di tempat terbuka (metode kampanye rapat umum), seringkali yang dominan adalah hiburannya saja. Suguhan seni tradisional atau acara musik modern dengan mendatangkan artis terkenal memang bisa membuat massa tertarik untuk datang dalam jumlah yang besar. Tapi dominasi hiburan hanya merangsang rasa senang, bukan yang membuat berpikir dan mencerdaskan.
Optimalisasi Partisipasi
Dalam teori komunikasi, komunikator diharapkan bukan hanya menyebarkan menghibur (to entertain) saja, tapi juga melakukan penyadaran dan perubahan sikap serta tingkahlaku (to educate). Demokrasi yang berkualitas dalam momentum elektoral tentu akan bisa ditingkatkan jika aspek pendidikan politiknya diperkuat. Demokrasi elektoral berupa momen pilkada bukan hanya pesta atau ajang bersenang-senang, tapi juga ajang untuk memperkuat kesadaran dan partisipasi yang kualitatif.
Dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024 pada Pasal 68, dinyatakan bahwa debat publik atau debat terbuka untuk satu pasangan calon dilaksanakan dalam bentuk pemaparan visi, misi, dan program pasangan calon yang dipandu oleh moderator. Debat publik tersebut difasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan disiarkan secara langsung melalui Lembaga Penyiaran Publik atau Lembaga Penyiaran Swasta.
Acara debat publik atau debat terbuka tersebut dapat disiarkan ulang pada masa kampanye. KPU boleh melaksanakan debat publik atau debat terbuka selama paling banyak 3 (tiga) kali pada masa kampanye. Dalam hal ini bisa dibayangkan betapa acara debat publik bisa diakses secara luas dan masif oleh masyarakat, khususnya mereka yang benar-benar ingin tahu tentang visi-misi dan program dari pasangan calon.
Pada saat disiarkan langsung, masyarakat di mana pun berada bisa menontonnya lewat televisi. Bahkan bagi yang tidak bisa melihat secara langsung, bisa melihatnya di YouTube dan videonya bisa diputar berulang-ulang jika ingin mencermati konten dan pesan dari pasangan calon. Bahkan siapa pun bisa menyebarkannya di media sosial. Dan dengan keberadaan media sosial, masyarakat juga bisa memberikan tanggapan yang bisa dimuat di media sosialnya.
Singkatnya, debat publiklah yang bisa membuat produksi dan reproduksi pengetahuan politik bisa berlangsung dengan baik dan bahkan bisa dimaksimalkan ekstensivitas pesan dan intensitas kualitas diskusinya di kalangan masyarakat.
Debat publik antar-pasangan calon bisa membuka diskusi publik secara lebih jauh dan memperluas ruang-ruang publik untuk rakyat dalam menanggapi visi-misi dan pikiran para calonnya. Ada feedback yang diharapkan. Rakyat yang ikut diskusi ini pada akhirnya akan menjadi subjek dalam politik melalui perbincangan di ruang-ruang publik. Maka, terjadi—apa yang oleh Habermas disebut sebagai—komunikasi intersubjektif atau “komunikasi bebas-hambatan”.
Berbeda dengan model kampanye yang dilakukan secara searah dan kurang hidup melalui metode pemasangan alat peraga kampanye (APK) seperti spanduk dan baliho atau bahan kampanye berupa selebaran. Pemasangan APK bahkan dipandang sebagai kegiatan yang negatif mengingat banyaknya APK akan membuat suasana kota menjadi kebak “sampah visual”.
Bahkan cara pemasangan yang salah juga akan menimbulkan sikap yang anti-ekologis, misalnya pemasangan yang merusak pohon karena cara memasangnya melanggar aturan (misalnya pakai paku). Kritik dari aktivis demokrasi dan aktivis lingkungan terhadap metode kampanye penyebaran APK merupakan tantangan agar kampanye dalam bentuk yang lebih menyehatkan haruslah didorong untuk lebih banyak dilakukan.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana debat publik untuk calon tunggal bisa memaksimalkan pendidikan politik pada masyarakat? Sementara tidak ada calon lawan yang bisa membuat dialektika diskusi menghasilkan penajaman pemikiran, visi-misi, program, serta pandangan paslon terhadap isu-isu tertentu yang sifatnya tematik dan segmented. Tidak ada dialektika. Tidak ada tesis-antitesis yang menghasilkan sintesis yang bisa diserap audiens sebagai pihak yang butuh asupan pengetahuan yang lebih berkualitas.
Umumnya, ketiadaan lawan akan membuat calon yang berposisi tunggal terkesan nyantai. Dalam debat publik calon tunggal, paslon yang tidak punya lawan ini tidak terlalu terbebani untuk mempersiapkan penyampaian visi-misi karena tak akan ada sanggahan dan pertanyaan dari calon lawan yang biasanya berupaya untuk mendapatkan keunggulan komparatif di hadapan publik yang menontonnya.
Ketika ada paslon lain yang dalam debat menjadi lawan yang punya kemampuan komunikasi dan kualitas retorika yang lebih baik, maka paslon satunya pasti akan mengimbanginya dengan menyiapkan bahan debat yang lebih serius. Sehingga, debat publik kadang bisa menjadi pertunjukan yang sangat atraktif sekaligus membawa dampak pada pendidikan politik bagi audiens.
Untuk menutupi kekosongan lawan debat, KPU seharusnya mendesain debat publik calon tunggal yang secara teknis dan substansial bisa menjaga agar pendidikan politiknya tetap maksimal. Secara khusus, petunjuk teknis yang lebih detail tentang debat publik calon tunggal bisa dibuat dengan mempertimbangkan sisi edukasi politik tersebut.
Apakah bisa, kotak kosong, sebagai lawan calon tunggal, misalnya diwakili oleh kelompok sosial tertentu ketika debat publik? Tampaknya secara substansial tidak bisa. Sebab, kotak kosong berarti cerminan ketiadaan paslon selain calon tunggal. Karena itulah, istilah yang digunakan dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2024 adalah penyampaian visi-misi paslon tunggal saja.
Maka yang bisa dilakukan adalah memastikan bahwa penyampaian visi misi ditambah dengan keberadaan pihak penanya yang bisa diwakili oleh panelis. Biar terjadi dialektika. Panelis juga diharapkan bisa mewadahi berbagai masukan pertanyaan dan kritik dari masyarakat. Bagaimana caranya KPU bisa menampung aspirasi dan pertanyaan warga masyarakat, tentu ini yang menjadi penting.
Di satu sisi, masyarakat tetap menjadi aktor berdaulat. Mereka punya hak informasi yang dijamin konstitusi dan undang-undang. Hak informasi dalam hal ini adalah hak mendapatkan atau memperoleh informasi, juga hak menyebarkan informasi dan pikiran. Di sinilah, ruang demokratis politik bisa hidup ketika masyarakat menyadari bahwa mereka juga subjek politik.
Dalam demokrasi elektoral, masyarakat bukan hanya bisa to vote atau memberikan suara. Mereka juga bisa to make voice. Bahkan yang kedua ini kadar kualitasnya lebih tinggi dibanding hanya sekedar nyoblos. Sebab masyarakat yang berpartisipasi aktif adalah pilar demokrasi. Partisipasi yang bukan hanya nyoblos, tapi juga menjadikan dirinya sebagai penyusun kekuatan untuk mengontrol kekuasaan!
Nurani Soyomukti, penulis buku “Komunikasi Politik” dan belasan buku lainnya. Ia adalah mantan Komisioner KPU Kabupaten Trenggalek (2014-2019, 2019-2024), yang mengakhiri jabatannya pada 13 Juni 2024 lalu. Kini ia fokus pada kajian demokrasi dan desa dengan mendirikan Institute Demokrasi dan Keberdesaan (INDEK). Selain itu ia saat ini juga mulai belajar Filsafat di Magister Akidah dan Filsafat Islam UIN Satu (Tulungagung)