Oleh Abdullah Alawi
Bagi kalangan pesantren, sepak bola merupakan olahraga populer. Jika tak punya lapangan, sepak-sepak bola dalam bentuk cucian yang dibuntal saja bisa jadi. Bahkan bola api dan durian pun disepak. Padahal kaki santri sama saja dengan manusia pada umumnya, terdiri dari daging dan tulang yang dibungkus kulit.
Tak heran, lembaga pendidikan yang fokus sebenarnya adalah mendalami ilmu agama membuahkan pemain sepak bola di tingkat nasional. Tak banyak memang. Sebut misalnya M. Rafli Mursalim. Ia memperkuat Timnas Indonesia U-19. Membikin gol dalam hitungan detik. Mencetak hattrick. Bukan hanya dia, nama lain bisa disebut Evan Dimas.
Jika dicari angkatan lebih tua, Zaenal Arif, mantan penyerang Persib Bandung, pernah nyantri di sebuah pondok pesantren di Cikajang, Garut. Bahkan sempat juara Musabaqah Tilawatil Qur’an tingkat kecamatan.
Bacaan Al-Qur’an Zaenal Arif dipuji Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah atau asosiasi pondok pesantren NU, KH Abdul Ghofarrozin ketika pembukaan putara final Liga Santri Nusantara di GOR Pasundan, kota Bandung, Senin (23/10). Tak heran ia didaulat sebagai duta Liga Santri Nusantara tahun ini.
Legenda Persija Jakarta, Nuralim, juga mengaku dekat dengan tradisi pondok pesantren karena ia selama 6 tahun belajar di Madrasah Ibtidaiyah Najahul Islam Bekasi.
Pondok pesantren juga melahirkan komentator sepak bola. Dalam hal ini adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurut pengamat sepak bola nasional, M. Kusnaeni, amatan sepak bola Gus Dur memiliki tempat tersendiri, yaitu pengamat sepak bola dengan pendekatan filosofis yang visioner.
Pengalaman pesantren tentang sepak bola juga dimuat dalam pengalaman pribadi (autobiografi) KH Saifuddin Zuhri pada Guruku Orang-orang dari Pesantren dan Rahmatullah Ading Affandi (RAF) pada Dongeng Enteng ti Pasantren.
KH Saifuddin Zuhri biasanya, sepulang dari sekolah, sehabis makan siang dan shalat dzuhur, ada sedikit waktu bermain dengan teman-teman. Kalau tidak main sepak bola, main layang-layang atau cari ikan di sungai.
Pada cerita itu pula ia memperkenalkan sosok Kiai Mursyid, seorang ahli ilmu agama asal kota Solo yang terampil bermain si kulit bundar. Tim mana pun yang dibela Kiai Musrsyid, bisa dipastikan mendapat kemenangan.
Sepak Bola sebagian dari Iman
RAF mengisahkan sepak bola kalangan pesantren lebih detil lagi. Tidak main-main, menurut dia, berdasarkan ucapan ajengan (istilah kiai di Sunda), menyebut olahraga sebagai bagian dari iman.
“Ari olahraga teh, eta sabagian tina iman. Ku Gusti Allah urang teh dipaparin badan. Tah eta badan teh ku urang kudu diriksa, sangkan sehat. Salian ti ku dahar, ngariksa badan teh kudu ku olah-raga, sangkan sehat." (halaman 45). Artinya, olahraga itu sebagian dari iman. Allah telah memberi kita badan. Pemberian itu harus dijaga supaya sehat. Selain dengan makan, badan harus dijaga dengan olahraga agar sehat.
Maka pada buku tersebut dikisahkan, ajengan turut serta dalam permainan sepak bola bersama santrinya. Ia memakai sarung yang digulung lebih atas dari biasanya sehingga kelihatan celana sontognya (celana) yang panjangnya sampai ke betis, biasa digunakan di pesantren-pesantren Sunda.
Pernah ajengan tersebut bermain sepak bola. Pada sebuah insiden, ia tersungkur hingga ke pinggir lapangan oleh pemain lawan, yaitu santrinya sendiri. Ajengan sampai menderita sakit beberapa hari.
Santri yang melakukan tindakan itu dimarahi santri senior. Bahkan isteri ajengan sampai mendatangi santri tersebut dan memarahinya. Lalu bola milik santri itu disitanya. Ajengan juga sempat marah kepada pelaku.
Tapi beberapa hari kemudian, Ajengan meminta maaf kepada pelaku. Menurutnya, dia dan santri itu sama-sama pemain di lapangan. Dan itulah risikonya ketika bermain sepak bola. (halaman 44)
“Malah basa tas ngaji, Ajengan kungsi mundut hampura ka Si Atok. Saurna, ‘Atok hampura ana, harita make ngambek, padahal ana oge nyaho, yen anta harita teu ngahaja ngadupak ana.’" (Selepas mengaji, Ajengan meminta maaf kepada Si Atok (santri yang menjatuhkannya saat bermain sepak bola). Ajengan berkata, ‘Mohon maaf ya, waktu itu saya sempat marah. Padahal saya tahu, kamu tidak sengaja melakukannya).”
Dari peristiwa itu, RAF menilai seorang ajengan itu sportif.
Tentang olahraga, menurut ajengan tersebut bermanfaat dalam dua hal. “Saur Ajengan keneh, ari maen-bal teh saenyana mah, ngalatih lahir jeung batin. Lahirna atuh badan jadi sehat, batinna atuh pikiran jadi cageur. (halaman 45).
Menurut RAF, pikiran ajengan semacam itu seperti perkataan ahli-ahli olahraga modern. Hanya berbeda kalimat dan cara menyampaikan sementara maksudnya adalah mens sana in corpore sano (jiwa yang sehat berada pada badan yang sehat). (halaman 45).
Padahal ajengan tersebut, sebagaimana dikisahkan pada bagian buku tersebut tidak mengenyam perguruan tinggi. RAF menjelaskan profil ajengan seperti berikut:
“Ajengan tidak pernah sekolah, tak pernah mendapat didikan universitas. Tapi aku yakin, ajengan yang tinggal di kampung itu orang pintar, orang yang otodidak. Caranya dia mengajar, meski dia tidak mendapatkannya dari buku, tapi mudah dimengerti. Meski sering membentak, tapi disegani santri-santrinya. Malahan jadi payung bagi orang-orang kampungnya. Penemuannya asli, bukan dari buku orang lain. Meski begitu, tetap dalam dan mengandung kebenaran. Luas pemikirannya, luhur penemuannya. Singkatnya, bukan orang mentah. Tidak banyak sekarang juga aku menemukan orang seperti ajengan. Pedoman dia, “Tafakur sejam, lebih berguna daripada shalat berjumpalitan enam puluh hari tanpa tafakur.” (halaman 8).
Pesantren adalah gudangnya bakat apa pun, kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. Hal itu karena santri di Indonesia, yang terhubung dengan NU saja sekitar 23 ribu pesantren dengan berjumlah jutaan santri. Selain diformat untuk mengerti pengetahuan agama dan menyebarkannya (berdakwah), di antara mereka pasti ada yang berbakat menjadi politisi, seniman, termasuk olahraga.
Namun, masih kata Kiai Said, bakat-bakat santri itu masih hanya sebatas potensi, belum menjadi prestasi secara maksimal.
Tak berlebihan pernyataan itu, karena penulis membuktikan sendiri pada putaran final Liga Santri Nusantara 2017 yang berlangsung di kota Bandung. Mantan pemain Timnas, Nuralim kaget melihat potensi-potensi sepak bola santri. Begitu juga Zaenal Arif.
Di luar itu, penulis menemukan keunikan kesebelasan Darul Huda Ponorogo. Mereka tidak hanya membawa pemain ke Bandung, tapi mengangkut dua kuintal beras berikut juru masaknya. Namun, juru masak itu, ketika di lapangan menjadi tim dokumentasi live streaming yang bisa ditonton langsung oleh kiai dan sesame teman santrinya di Ponorogo. Mereka meliput dengan dengan mengenakan sarung dan berkopiah. Dan di antara mereka, ada yang menjadi reporter dan komentator.
Bukankah santri itu, jika dikembangkan bakatnya akan menjadi wartawan televisi dan komentator sepak bola di kemudian hari?
Dari catatan itu, penulis mengapresiasi langkah Kemenpora RI yang bekerja sama dengan Rabithah Ma’ahid Islamiyah NU yang menyelenggarakan kompetisi sepak bola antarpesantren di seluruh Indonesia. Sejak digelar 2015, peserta liga itu makin bertambah. Tahun ini mencapai 22 ribu orang santri.
Penyelenggaraan liga itu, harus terus dilaksanakan diperbaiki untuk meningkatkan kualitas penyelenggara sendiri dan skill pemain. Apalagi tujuannya, selain menjadi ajang silaturahim antarsantri, liga itu berupaya memasok pemain sepak bola di Timnas Indonesia yang berakhlakul karimah.
Penulis adalah salah seorang tim peliput Liga Santri Nusantara 2017 di Bandung yang dikirim NU Online