Agar manusia memiliki jiwa yang hanif, mereka harus mendapatkan pendidikan karakter yang baik dan tepat.
Keluarga, tema kehidupan yang tak pernah usang. Entitas sosial terkecil masyarakat yang sangat dinamis. Melalui keluarga, masyarakat menjadi ada. Negara tidak akan pernah ada tanpa kehadiran keluarga-keluarga. Bahkan maju mundurnya sebuah peradaban, tak lepas dari peran keluarga.
Lalu keluarga seperti apa yang bisa menjadi penopang peradaban? Para ahli berkata, keluarga yang bahagia. Bahagia itu memang relatif. Abstrak. Tidak diukur oleh keberlimpahan materi. Bahagia itu muncul dari jiwa yang hanif. Jiwa yang sumeleh (baca: Jawa). Jiwa yang nrimo dan memiliki kemembalan dalam menghadapi badai kehidupan. Dalam idealitas agama disebut jiwa muthmainnah. Jiwa yang tenang dan terhubung dengan Sang Khaliq.
Kemudian, apa yang bisa membentuk jiwa muthmainnah? Hakikatnya, jiwa itu "bergerak", dinamis. Sebagian ulama menyebut, jiwa sama dengan ruh. Secara etimologi, ruh berarti kehidupan. Dengan jiwanya, manusia menjadi energik, bergelora. Wajar, saat seseorang lesu dibilang telah kehilangan spirit. Nah kondisi jiwa naik turun. Kadang mencapai puncak takwa. Kadang turun karena dorongan maksiat atau kesenangan material (QS: Al-Syams: 8).
Dalam posisi naik turun, sebenarnya ruh dalam jasad (jasmani) manusia itu gelisah. Tidak nyaman. Kenapa? Karena ruh memiliki sifat suci. Cenderung kepada keabadian. Sedangkan, jasad cenderung kepada kebendaan. Lebih menyukai kesementaraan. Condong kepada unsur-unsur kesenangan (pleasure).
Sebab itu, agar manusia memiliki jiwa yang hanif, mereka harus mendapatkan pendidikan karakter yang baik dan tepat. Kalau bicara manusia, tentu bicara anak. Anak sebagai manusia kecil harus dididik sejak dini agar mampu mengemban amanah khalifah (QS: Al-Baqarah: 30).
Kenapa fokus pendidikan pada anak? Karena anak adalah penerus generasi kehidupan manusia. Mereka terlahir bukan saja mewarisi secara biologis, tapi mewarisi karakter, tradisi, dan cita-cita. Namun, bukan berarti tidak penting pendidikan bagi orang dewasa. Bukankah prinsip dari pendidikan adalah: education for all?
Kemudian siapa yang harus mendidik anak-anak? Dididik dengan apa? Dua pertanyaan yang sangat penting. Semua orang harus bisa menjawab itu. Jika tidak, maka merenunglah dalam kesendirian. Menyingkirlah dari keramaian. Berpikirlah seperti banyak saran dari kitab suci. Siapa sesungguhnya kita? Kenapa kita ada? Kemana kita harus menuju?
Menjawab pertanyaan pertama, siapa yang wajib mendidik anak? Pastinya itu menjadi tanggung jawab orang tuanya. Dua orang, yang karena mereka, anak menjadi ada. Lugasnya, ayah dan bunda (bapak-ibu). Orang tua memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak, khususnya karakter mereka. Orang tua akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Baik buruknya anak akan menjadi cerminan orang tuanya.
Sedangkan jawaban kedua, dididik dengan kearifan. Kearifan akan muncul saat ditanamkan nilai-nilai karakter (akhlak). Akhlak yang seperti apa? Akhlak yang mampu membuat dirinya mengerti siapa hakikat dirinya. Yang mampu menghormati orang lain. Yang mampu mencintai terhadap peradaban ilmu. Dan yang mampu memiliki insight tentang ketuhanan dan mengerti bagaimana cara mengabdi kepada-Nya.
Nah, pada level inilah orang tua wajib mendidik tentang nilai-nilai agama kepada anak sejak dini sebagai pondasi kehidupan. Dimulai dari rumah. Dimulai dari kebiasaan seluruh anggota keluarga. Bukan hanya mengandalkan pendidikan agama dari Lembaga formal. Rumah adalah “sekolah pertama” bagi anak yang harus dikelola oleh orang tuanya dengan baik.
Muhammad Qutub berkata dalam kitabnya, Minhajul Al-Tarbiyyah Al-Islamiyyah: Rumah, jalan, sekolah, dan masyarakat adalah pilar pendidikan dasar. Rumah adalah influencer pertama, dan merupakan yang paling kuat dari pilar-pilar tersebut".
Lalu bagaimana konsep pendidikan karakter dan pembiasaan perilaku keagamaan di rumah? Apalagi di masa-masa pandemi Covid-19 yang mengutamakan semua anggota keluarga sering tinggal di rumah?
Thobib Al-Asyhar, Dosen Psikologi Islam pada Kajian Timur Tengah dan Islam, SKSG Universitas Indonesia