Pemilihan guru (ustadz) yang salah atau tidak tepat akan sangat mempengaruhi input keagamaan bagi orang tua, sehingga berpengaruh pada pola asuh keagamaan dalam keluarga.
Membangun karakter anak di rumah tidak semudah mentransfer pengetahuan (ilmu) yang disampaikan di bangku-bangku sekolah. Dibutuhkan keterlibatan intens orang tua agar anak mampu menyerap dan mengimplementasikan nilai-nilai yang diajarkan.
Pendidikan agama tidak cukup diajarkan, tapi di-insert dalam kesadaran penuh. Ajaran agama tidak hanya dihafal dan disetorkan. Hafalan memang penting agar ilmunya rasikhah (mendalam), tapi itu bukan pilihan utama. Ilmu, hakikatnya bukan untuk ilmu. Ilmu untuk dipahami sekaligus diamalkan. Hal ini agar ada kesesuaian antara pengetahuan dengan sikap dan perilaku.
Pepatah Arab mengatakan: ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah. Sesungguhnya ilmu adalah pohon, sedangkan amal adalah buahnya. Orang yang tidak mengamalkan ilmunya tidaklah dianggap sebagai orang yang berilmu (Iqtidhā-ul Ilmi al-'amal). Artinya, pintar saja tidak cukup. Perlu bukti dalam bentuk sikap dan perilaku nyata.
Lalu model pendidikan agama seperti apa yang dibutuhkan dalam keluarga? Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua tentang model pendidikan agama bagi anak.
Pertama, pendidikan agama yang menanamkan kepada anak bahwa agama menjadi spirit kehidupan yang menumbuhkan sikap untuk maju dan memuliakan sesama. Jangan ajarkan doktrin-doktrin agama yang menjustifikasi keangkuhan dengan menolak kemuliaan ilmu yang sangat luas dan paham orang lain yang berbeda.
Sebagian orang tua mengabaikan pentingnya tetap “mengaji” yang membuka cakrawala beragama lebih luas. Juga ada kelompok orang yang mudah menghakimi kelompok lain dengan memberi label-label buruk seperti ahlul bid'ah, syirik, penyembah kuburan, tidak nyunnah, bahkan kafir.
Orang tua harus bisa memastikan kepada anak agar mendapatkan asupan ajaran agama yang rahmatan lil-'alamin. Ajaran agama yang welas asih, sehingga menjadikan pemeluknya lebih berakhlak, seperti yang diajarkan Rasulullah.
Kedua, biasakan mengambil referensi keagamaan yang kredibel. Ada dua hal yang perlu diperhatikan menyangkut referensi ini, yaitu buku (kitab) dan guru (ustadz). Buku (kitab) keagamaan memang banyak jenisnya. Namun tidak semua buku (kitab) memuat ajaran, ajakan, dan narasi keagamaan yang sesuai dengan watak keberagamaan orang Indonesia.
Tidak sedikit orang tua mengajarkan agama kepada anaknya hanya diambilkan dari broadcast yang tidak jelas pijakannya. Kalau toh ada rujukannya sering mengabaikan fakta tentang model atau pilihan keagamaan masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, mayoritas masyarakat pengikut Imam Syafi'i, lalu disebarkan pendapat Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal tentang suatu hukum agama tertentu.
Akibatnya bisa menimbulkan perbedaan tidak penting (khilafiyah) menjadi rumit. Perbedaan-perbedaan tidak substantial menjadi perdebatan yang tidak produktif.
Berikutnya soal guru ngaji atau biasa disebut ustadz. Pemilihan guru (ustadz) yang salah atau tidak tepat akan sangat mempengaruhi input keagamaan bagi orang tua, sehingga berpengaruh pada pola asuh keagamaan dalam keluarga. Betapa banyak orang tua yang “salah jalan”.
Awalnya sebagai seorang beragama biasa saja, lalu karena salah gabung sebuah kelompok pengajian sehingga merubah total cara pandang beragama. Antara muatan ajaran agama dan guru memang sangat berkaitan.
Tidak sedikit orang yang awalnya tidak terlalu taat dalam beragama karena awam ilmu agama tiba-tiba menjadi sangat ideologis paradigma hidupnya. Sedikit-sedikit haram, musyrik, bid'ah dan lain-lain.
Demikian juga yang awalnya taat, lalu tiba-tiba menjadi liberal, jauh dari nilai-nilai agama. Ini semua karena kesalahan pilih referensi keagamaan yang bisa mengganggu keseimbangan kita dalam beragama.
Ketiga, dalam mengajarkan nilai-nilai agama, orang tua (pendamping) harus siap menjadi teladan bagi anak-anaknya. Ada cerita cukup menggelikan dalam sebuah keluarga. Alkisah, pada saat maghrib tiba, seorang bapak membentak dan memarahi anaknya agar jangan menonton sinetron di TV. Lalu ia meminta agar anaknya pergi ke Mushola untuk shalat Maghrib berjamaah dan mengaji Al-Qur'an pada ustadz.
Namun apa yang terjadi, si bapak bukannya mengajak dan mencontohkan kepada anak agar meninggalkan sinetron di TV, tapi malah menggantikan duduk di kursi anak yang tadi dipakai. Tentu anak jadi jengkel, dan tidak mendapatkan teladan baik di rumah. Bagaimana anak mau melakukan hal baik jika orang tuanya tidak bisa menjadi cermin bagi anak-anaknya.
Soal keteladanan dalam pendidikan merupakan hal pokok. Dengan adanya role model, maka anak akan mudah meniru. Bukankah dalam kajian psikologi anak adalah peniru yang handal? Islam mengajarkan tentang pentingnya uswatun hasanah seperti Rasulullah mendidik umatnya. Rasulullah adalah potret manusia sempurna yang mampu menjadi magnet bagi manusia, bahkan semua jenis makhluk di alam raya ini.
Ketiga hal tersebut perlu menjadi perhatian bagi orang yang serius ingin membangun karakter anak dari nilai-nilai agama (baca: Islam). Sekali lagi jika serius. Keseriusan adalah modal dasar dalam mendidik anak. Tanpa niat dan kemauan yang kuat, maka pola pendidikan yang diharapkan hanya menjadi wacana dan keinginan tanpa bukti yang konkret.
Thobib Al-Asyhar, Dosen Psikologi Islam pada Kajian Timteng dan Islam, SKSG Universitas Indonesia